BERITAEBTA.COM, Ambon – Pertimbangan penutupan atau penghentian kasus dugaan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan harus transparan. Sebab dalam penegakan hukum ada dua tujuan. Selain bersifat represif, hukum juga harus bersifat preventif yakni pencegahan.

Hal ini disampaikan oleh Pegiat Antikorupsi, Abdul Wahab Suparman, kepada wartawan Minggu (20/02/2022), menyikapi beberapa kasus dugaan korupsi yang sebelumnya ditangani oleh pihak Kejati Maluku, tetapi endingnya ditutup alias dihentikan dengan alasan pihak terkait ada yang mengembalikan kerugian negara, dan adapula alasan beberapa kasus itu tidak memiliki cukup bukti.

Menurut dia, untuk dua kasus dugaan tipikor yang tengah ditangani Kejati Maluku yaitu proyek pembangunan jalan Rambatu—Manussa Kecamatan Inamosol Kabupaten Seram Bagian Barat senilai Rp31 miliar, dan pengadaan lahan untuk pembangunan RSUD Kota Tual senilai Rp4,8 miliar, tidak semestinya Kejati Maluku menggunakan pendekatan pengembalian kerugian nengara lalu menghentikan proses hukum.

“Sebelumnya kasus dugaan korupsi proyek Jalan Lingkar Pulau Wokam Kabupaten Kepulauan Aru Rp36.7 miliar, dan dugaan korupsi DPRD Kota Ambon Rp5,3 miliar, alasannya sama pihak terkait sudah kembalikan kerugian negara. Ini sangat kontradiksi sebenarnya dengan tujuan penegakan hukum,” tegasnya.

Untuk itu dengan kekeliruan yang sudah dilakukan pihak Kejati Maluku pada dua kasus tersebut, dia berharap, agar penanganan kasus dugaan korupsi Jalan Rambatu dan pengadaan lahan RSUD Kota Tual dapat diusut hingga tuntas, dan tidak bernasib serupa alias dihentikan dengan dalih pengembalian kerugian negara.

“Transparansi penanganan dua kasus itu sangat penting, sehingga publik dapat mengetahui perkembangannya. Lalu oknum yang terkait atau diduga menyalahgunakan anggaran negara patut diproses hingga ke pengadilan,” desaknya.

Dengan penutupan kasus, Wahab berasumsi, maka akan menimbulkan keinginan sebagian orang untuk melakukan perbuatan tindak pidana tersebut dengan asumsi apabila ketahuan, maka uang korupsi tinggal dikembalikan saja, dan Kejaksaan mungkin memberikan perlakuan yang sama.

Wahab menegaskan, perilaku korupsi adalah perilaku yang buruk. Sehingga harus mendapatkan ganjaran yang setimpal, karena akan merusak mental masa depan generasi bangsa.

Ia mengingatkan Kejati Maluku agar tidak keliru dan salah memahami restorative justice. Wahab menandaskan, tidak semua perkara korupsi dapat dilakukan restorative justice.

Karena, mengingat dampak yang luas yang ditimbulkan atas perbuatan tersebut semisal kasus-kasus yang sudah diputihkan di atas, ternyata akan menyisahkan persoalan baru.

Padahal, seharusnya masyarakat mendapatkan fasilitas oleh negara sesuai dengan yang dianggarkan dan peruntukannya, namun ternyata tidak demikian.

Kejaksaan Tinggi Maluku haruslah seperti Dewi Themis dalam melakukan penegakan hukum yang tidak pandang bulu terhadap tindak pidana. Apalagi tindak pidana yang sifatnya luar biasa yakni tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Wahab juga menyikapi satatemen Jaksa Agung RI dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR RI beberapa waktu lalu menyatakan, penyelesaian hukum untuk kasus korupsi dengan nominal di bawah Rp50 juta, dapat diselesaikan dengan cara pengembalian uang ke negara saja.

Dia menegaskan, pernyataan Jaksa Agung RI tersebut justru bertentangan dengan pengaturan kerugian negara. Berdasarkan pasai 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yaitu, kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, atau barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian.

Lalu, kata Wahab, berbeda dengan politik hukum negara dalam UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang mengatur dan memutuskan kerugian negara dapat disebabkan akibat pidana atau administrasi.

Secara teori, menurut Wahab, pernyataan Jaksa Agung RI ini dianggap melakukan pendekatan penyelesaian hanya dengan jumlah, bukan dengan akibat perbuatan melawan hukum perdata, administrasi atau pidana.

“Karena jumlah kecil maupun banyak jika akibat perbuatan melawan hukum pidana tetap harus dipidana, bukan dengan pengembalian uang ke kas negara,” jelasnya.

Wahab menilai, aparat penegak hukum atau APH dan Auditor sampai sekarang, belum memahami makna kerugian negara yang nyata dan pasti, serta akibat perbuatan melawan hukumnya apa? perdata, administrasi atau pidana. Sehingga penyelesaiannya adil dan berkepastian hukum.

“Jadi, kerugian negara bukan soal jumlah, tetapi soal akibat perbuatan hingga uang, surat berharga, dan barang nyata dan pasti telah berkurang bukan karena potensi, asumsi atau indikasi, dan hanyalah imajinasi soal jumlah,” tukasnya.

Sebaliknya, lanjut dia, pengembalian kerugian negara ke kas negara harus dan wajib dilakukan berapa pun jumlahnya [sedikit atau banyak], dan tidak dipidana apabila tidak ada unsur suap, tipuan dan paksaan atau ancaman secara melawan hukum pidana.

“Hal ini sesuai dengan Pasal 30 Undang Undang Nomor 20 tahun 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016,” ungkapnya.

Untuk itu dia berharap penanganan dua kasus dugaan tipikor yakni Jalan Rambatu Kabupaten SBB dan lahan RSUD Kota Tual diselesaikan tidak semestinya dengan dalih pengembalian kerugian negara.

Proses hukum dua kasus ini patut dilakukan hingga ke meja hijau. Bila pihak terkait mengembalikan kerugian negara, ceritanya bukan langsung tamat. Proses hukum masih jalan, karena pengembalian uang negara itu tidak menghapus atau menggugurkan unsur pidana,” tandas Wahab. (BB)

 

Editor : Redaksi