Oleh: Imanuel R. Balak (Mahasiswa Magister Hukum Litigasi UGM Yogyakarta)

18 Januari Tahun 2023 merupakan hari yang bersejarah dalam kehidupan Bharada E, entah itu sejarah baik ataupun buruk, nanti kita lihat pada hasil akhir perkara ini. Pasalnya pada tanggal tersebut Bharada E menjalani Sidang Tuntutan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dalam sidang tersebut Bharada E menduduki kursi pesakitan alias sebagai Terdakwa dalam case  pembunuhan Nofriansyah Josua Hutabarat alias Brigadir J.

Sebagaimana kita ketahui bahwa case tersebut menyeret 5 (lima) nama  ke persidangan sebagai Terdakwa, diantaranya; Irjen Pol Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Ricki Rizal, Kuat Ma’ruf, dan Bharada Eliezer.

Kelima terdakwa tersebut dikenakan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, jo 55 ayat (1) ke 1 KUHP, turut serta melakukan perbuatan (deelneming). Kendatipun dikenakan Pasal yang sama, akan tetapi Requisitoir/Tuntutan JPU berbeda-beda kepada masing-masing terdakwa.

Hal demikian sejalan dengan prinsip hukum pidana, dimana dalam pertanggungjawaban pidana, mengacu pada Individual Criminal Responsibility, tegasnya pertanggungjawaban pidana itu ditujukan kepada setiap individu.

Pada tulisan ini,  penulis akan memfokuskan analisa pada kedudukan serta peran Bharada E, kaitannya dengan requisatoir yang dilayangkan JPU pada sidang yang digelar 18 januari 2023 lalu.

Dalam pembacaan requisitoir JPU, Bharada E dituntut 12 Tahun Penjara. Tuntutan ini merupakan yang terberat kedua setelah Ferdy Sambo yang dituntut hukuman seumur hidup.

Hal itu kemudian memunculkan banyak sekali perspektif yang kontradiktif dengan requisitoir JPU terhadap Bharada E dari berbagai kalangan masyarakat, bahkan akademisi maupun praktisi hukum pun turut memberikan komentarnya merespon requisitoir JPU.