Selanjutnya Ayat (3) Pasal a quo menerangkan sebagai berikut “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan Kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Jistice Collaborator) suatu tindak pidana yang dilakukan berdasarkan konvensi ini”.

Demikianlah sekiranya sedikit history tentang Justice  collaborator di Indonesia.

Sebagai konsekuensi dari Konvensi tersebut, kemudian lahirlah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 Jo UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 (Ada sebelum SEMA Nomor 4 Tahun 2011) Tentang Perlindungan Saksi dan Koraban, sebagaiaman dituangkan secara ekspersiv verbis dalam ketentuan Pasal 10 dan 10A UU a quo.

Artinya cukup lengkap dan tegas secara yuridis normative pengaturan mengenai Justice  collaborator. Dengan melihat secara objektif case a quo maka menjadi suatu keharusan untuk dpertimbangkan dalam requisatoir JPU mengenai status Bharada E sebagai Justice Collaborator.  

Menurut hemat penulis paling tidak ada 2 (dua) faktor fundamental yang merupakan kewajiban untuk dipertimbangkan, Pertama kaitannya dengan Peran Bharada E adalah bagian dari Perintah artinya ada Relasi Kuasa; kemudian yang kedua kaitannya dengan status Bharada E sebagai Justice  Collaborator.

Para Terdakwa didakwa dan dituntut dengan Pasal 340 jo 55 ayat (1) ke 1 KUHP, artinya secara tegas Pasal yang digunakan hanya dua pasal dimaksud, namun demikian requisatoir yang dilayangkan JPU kepada para terdakwa berbeda-beda.