BERITABETA.COM, Ambon – Penanganan masalah stunting di Provinsi Maluku terus menjadi sorotan berbagai pihak. Kali ini datang dari Ketua Komisi IV DPRD Maluku, Samson Atapary  yang menilai upaya penanangan stunting di daerah ini masih buruk.

Politisi PDI-Perjuangan Maluku ini menyebut penanganan stunting oleh Pemprov Maluku yang dikoordinir Ketua TP-PKK Provinsi Maluku, Widya Pratiwi Murad dianggap belum maksimal.

“Target untuk penurunan stunting, gizi buruk, gizi kurang kita masih di 26,1 persen, padahal harapan ada di 23 persen, jadi penurunannya cukup lambat,”ungkap Samson kepada wartawan usai rapat bersama mitra, di Kantor DPRD Maluku, Ambon, Jumat (28/04/2023).

Ia menyebut, buruknya kinerja tim penanganan stunting dibawah kendali istri Gubernur Maluku yang juga merupakan Bunda Stunting itu, terlihat dari data stunting di Maluku yang masih tergolong tinggi.

Dikatakan, capaian penanganan stunting di Maluku masih jauh dari target nasional yang ditetapkan 20 persen. Hal ini membuktikan buruknya kinerja Pemda Maluku dibawah kendali Ketua TP-PKK Maluku dalam penanganan stunting.

Sementara data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menyebutkan, angka stunting di Provinsi Maluku mengalami penurunan sebanyak 2,6 persen. Pada tahun 2021 sebesar 28,7 persen menjadi 26,1 persen.

Penurunan tersebut diperoleh dari kolaborasi pemerintah dan masyarakat di Maluku melalui berbagai inovasi dalam mengintervensi permasalahan stunting.

Meski masih memerlukan kerja keras menuju 14 persen target nasional 2024, namun kolaborasi ini dinilai mulai membuahkan hasil.

Meski demikian, Attapary menyebut, setiap OPD di lingkup Pemprov Maluku diwajibkan untuk mengalokasikan 9 persen dari anggarannya untuk penanganan stunting.

“Di satu sisi disetiap OPD minimal ada 9 persen dari OPD untuk penanganan stunting, yang diakoordinir oleh ketua TP PKK. Publikasi di media kerjanya wow, tetapi datanya tidak menunjukan kinerja itu, makanya kita bilang ini kinerja termasuk buruk,”tegas Attapary.

“Bayangkan untuk pergi intervensi melihat lokus terkena stunting, hanya berikan bantuan, tetapi semua OPD ikut. Anggaran berapa besar yang terpakai. Sebaiknya anggaran itu dipakai untuk Posyandu, pembinaan kader disitu karena mereka yang paling dekat dengan lokus stunting,”sambungnya.

Sebagai tindaklanjut, pihaknya mendesak agar kedepan dalam penanganan stunting tidak lagi dikoordinir Ketua TP-PKK Maluku, melainkan dibawah kendali Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Maluku, bersama OPD yang menjadi leading sektor dalam penanganan stunting, sebagai bukti kinerja dari Gubernur-Wakil Gubernur.

 “Hal ini harus diluruskan supaya tersisa tahun 2023 dan 2024 yang ada ini dikembalikan. Sehingga tadi kami minta dana-dana penanganan penurunan kemiskinan, stunting, gizi buruk, gizi kurang itu harus OPD menjadi leading sektor, PKK itu bukan OPD.  Kita tidak mungkin meminta pertanggungjawaban disini karena bukan OPD,”ucapnya.

Apalagi Ketua TPP sudah mau ditetapkan sebagai Caleg.

“Menurut kita kosentrasi saja disitu, untuk penanganan ini dikembalikan ke OPD leading sektor, dan dikoordinair Bappeda, dan Gubernur membuat satu kebijakan yang tegas kepada OPD dan Bappeda supaya sampai 2024 kita bisa tercapai 20 persen,”sarannya.

Attapary berharap apa yang menjadi tuntutan dan desakan DPRD Maluku dapat ditindaklanjuti, dalam rangka percepatan penurunan stunting di Maluku.

“Kita di DPRD terutama partai pengusung apalagi saya yang ditugaskan partai PDI-P sebagai Ketua Komisi mempunyai tanggungjawab moril. Kalau RPJMD tidak tercapai di 2024 ini bukan hanya kegagalan Pemda tetapi kita semua,” tegasnya.

“Jadi kami memiliki beban moril, karena PDI Perjuangan yang mengusung pemerintah ini loh. Jadi kalau kita tidak memenuhi RPJMD maka serangan juga ke kita. Karena itu kita minta agar ada perubahan, sehingga upaya penangana stunting dapat terkelola dengan baik,”tutupnya (*)

Editor : Redaksi