Akhir-akhir ini sorotan tentang peran Pemerintah Daerah Maluku atas kebijakan penanangan stunting di daerah menjadi ramai diberitakan media massa.

Suara-suara kritis anggota DPRD Maluku tetiba menjadi nyaring menyoroti masalah ini. Padahal, persoalan penanganan stunting sudah ada sejak dua tahun silam.

Tentu ada benarnya juga, jika wakil rakyat di Maluku belakangan secara gamblang menyikapi hal ini. Kita tentu mafhum, bahwa ada kebijakan yang dinilai wakil rakyat kita tidak sesuai.

Misalnya, terkait sumber penganggaran dalam upaya penurunan prevalensi stunting di daerah ini, yang harus menguras anggaran dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebesar 9 persen.

Ini angka yang tidak sedikit. Jika dikalkulasi jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Ironiya, kritik akan kebijakan ini baru diungkapkan.

Apakah wakil rakyat kita baru tahu adanya kebijakan itu? Ataukah  sudah tahu tapi diam? Dua pertanyaan ini menjadi lumrah dipikirkan, karena DPRD sebagai lembaga budgeting anggaran pastinya sudah lebih awal mengetahui akan hal ini.

Jika benar DPRD, khususnya Komisi IV yang membidangi masalah ini sudah tahu sebelumnya, maka kritikan –kritikan itu lebih tepat diasumsikan sebagai adanya signal ‘bola api’ di tahun politik.

Ini bacaan publik. Bahwa adanya kebijakan pemotongan anggaran OPD sebesar itu dianggap tidak tepat, hal ini harus diakui. Pasalnya, masalah stunting tentunya menjadi domain dari beberapa OPD terkait dan alokasi anggaran harus bersumber disana.

Benar, apa yang disampaikan Ketua Komisi IV DPRD Maluku, Samson Ataparry bahwa kendali penanganan stunting ini harusnya dibawah komando Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Maluku, bersama OPD yang menjadi leading sektor dalam penanganannya.

Sayangnya, suara wakil rakyat asal PDI-Perjuangan ini, baru terdengar di masa injure time. Padahal serangkaian proses yang dilangsungkan Pemerintah  Daerah Maluku terkait penanganan stunting ini cukup ramai menggema sebelumnya.

Sementara terkait keberhasilan program ini, harus pula diakui bahwa ada keberhasilan yang ditorehkan akibat kebijakan ini.

Fakta ini diungkap oleh Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, yang menyebut prevalensi balita stunting di Maluku mencapai 26,1% pada 2022. Angka ini menempatkan provinsi tersebut berada di peringkat ke-13 nasional.

Tercatat, Maluku memangkas angka balita stunting sebesar 2,6 poin dari tahun sebelumnya. Pada SSGI 2021, prevalensi balita stunting di provinsi ini mencapai 28,7%.