Death Adder, Ular Mematikan Ini Banyak Dijumpai di Papua dan Maluku
BERITABETA.COM, Jakarta – Pakar gigitan ular dan toksikologi DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM mengatakan, di Indonesia terdapat 72 jenis ular berbisa yang sangat berbahaya jika racunnya masuk ke dalam tubuh manusia.
Salah satu dari jenis ular itu adalah jenis ‘death adder’ diketahui banyak tersebar di hampir seluruh wilayah Australia, Papua dan Maluku. Dan mirisnya, dari sekian banyak ular berbisa di Indonesia, baru ada satu anti-bisa untuk menangani 3 jenis ular berbisa bagi para korban.
Nama ‘death adder’ mencuat setelah terjadinya kasus kematian anggota Satbrimobda Polda Sumatera Barat (Sumbar) yang bertugas di bawah kendali operasi (BKO) Polda Papua, Bripka Desri Sahrondi, akibat dipatok ulat jenis ini.
‘Death adder’ diketahui bisa menyuntikkan sekitar 40-100 miligram (mg) racun saraf, yang mana sekali gigitan dapat menyebabkan kelumpuhan dan kematian hanya dalam waktu 6 jam yang berakibat pada kegagalan fungsi pernapasan.
Bripka Desri yang juga tergabung dalam Satgas Amole pengamanan obyek vital nasional PT Freeport Indonesia itu dinyatakan meninggal dunia pada Senin (29/7/2019) pagi setelah sebelumnya digigit ular jenis ‘death adder’ pada Sabtu, 27 Juli 2019 lalu.
Anggota Reptile Timika Communities (RTC), Jessi Kukuh mengungkapkan bahwa ular jenis death adder yang menggigit Bripka Desri ialah salah satu jenis ular paling berbahaya dan mematikan di dunia.
“Salah satu ular dengan tingkat bisa tinggi. Kebanyakan (korban yang terkena gigitan-red) fatal atau menyebabkan kematian,” kata Jessi ketika saat dikonfirmasi Okezone.
Brigadir Kepala Desri Sahrondi, sempat dirawat oleh tim medis, namun nyawa korban tak tertolong.
“Kita butuh anti-bisa. Kita hanya punya satu yang meng-cover tiga jenis ular, yakni ular kobra, ular tanah, dan ular weling,” kata Tri Maharani, M.Si SP.EM., Selasa (12/9/2017).
Tri mengatakan, jumlah anti-bisa ular yang diproduksi oleh Badan Usaha Milik Negara Bio Farma hanya 40.000 setiap tahunnya. Jumlah ini dirasa belum mencukupi bila mengingat bahwa kasus gigitan ular berbisa yang terjadi lebih banyak.
Meski tak ada angka pasti dari gigitan ular secara nasional, Tri menduga kasusnya tak berbeda jauh dengan kasus pengerita HIV AIDS yang mencapai 191.000 jiwa. Dari 34 provinsi di Indonesia, Tri menduga angka gigitan ular bisa mencapai 135.000 kasus.
“LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Bio Farma, serta beberapa universitas tertarik untuk mengembangkan anti-bisa. Jadi, harusnya pemerintah membiayai dan memacunya agar 76 ular berbisa di indonesia ada anti-bisanya,” ucap Tri.
Selain itu, Indonesia baru memiliki satu anti-bisa berjenis polivalen yang dapat digunakan untuk tiga jenis ular. Artinya, 73 anti-bisa ular lainnya harus didatangkan dari luar negeri.
Dari segi efektivitas, kekuatan polivalen hanya sepertiga dibandingkan monovalen.Terhadap bisa ular ekor merah, misalnya, monovalen hanya butuh waktu 6 jam untuk memulihkan korban kembali.
“Semua jenis ular lebih bagus pakai monovalen. Satu peneliti LIPI yang tergigit ular di Simeuleu di bulan Agustus kemarin, 24 jam kemudian sudah bisa pulang,” ucap Tri.
Satu-satunya dokter dari Indonesia yang turut dalam tim pembuat pedoman penanganan gigitan ular berbisa dari lembaga kesehatan dunia atau WHO ini menuturkan, bisa ular jenis death adder tidak menyebar melalui aliran darah, melainkan kelenjar getah bening.
Bisa ular bekerja dengan cara memblok saraf-saraf dalam tubuh, sehingga dapat terjadi kelumpuhan otot yang didukung oleh syaraf tersebut.
Penanganan pertama atau first aid korban gigitan ular death adder menjadi satu hal penting guna mengurangi potensi keparahan yang muncul akibat bisa ular.
Penanganan First aid dapat dilakukan dengan immobilisasi atau memperkecil gerakan bagian tubuh yang terkena gigitan.
Presiden Toxinology Society of Indonesia ini menegaskan, memijit bagian tubuh yang terkena gigitan dengan tujuan mengeluarkan bisa ular hanya akan memperparah keadaan.
“Karena bisa ular tidak lewat pembuluh darah, jadi kalau dikeluarkan darahnya itu tidak akan mengeluarkan venomnya. Ya venomnya tetap nyebar, korban bisa mati,” ujar Tri.
“Tapi venomnya lewat kelenjar getah bening, yang harus dilakukan untuk tidak menyebarkan, dilakukan immobilisasi, dibuat tidak bergerak (bagian tubuh yang tergigit atau meminimalkan gerak anggota tubuh yang tergigit), dan untuk neurotoksin ditambahin pressure bandage,” lanjut dia.
Tri menjelaskan, terdapat dua kegunaan pressure bandage immobilisasi. Pertama, pressure compresses lymphatic drainage untuk melambatkan absorbsi venom dalam mikrosirkulasi.
Selain itu, dapat menginhibisi gross muscle movement yang menurunkan intrinsik local pressure dari stimulasi lymphatic dari stimulasi lymphatic drainage.
“Kalau imbolisasi saja maka hanya menginhibisi gross muscle movement yang menentukan intrinsik local pressure dari stimulasi lymphatic drainage,” papar Tri.
Perlu digaris bawahi, first aid yang salah menyebabkan kondisi korban masuk ke fase yang menjadikan organ tubuh rusak dan membutuhkan antivenom. (BB-DIO)