KASUS surat suara tercoblos dan kasus-kasus politik lainnya, menjadi contoh yang sempurna bagaimana kita bisa memaknai peran media sosial (medsos) yang makin menggila. Jika ada ruang maslahat, kenapa harus memilih yang menimbulkan mudharat?

Tapi itulah medsos, jika tidak berhati-hati dalam menuangkan pikiran dan gagasan,  hal maslahat pun akan menimbulkan benih mudharat. Apalagi menyangkut urusan politik?.

Urusan yang satu ini akan  selalu riuh dan  menjadi konsumsi publik yang renyah, bila dijadikan topik di ruang publik. Sebabnya, politik selalu menghadirkan intrik antara kubu-kubu yang berkepentingan.

Lihat saja, setiap hari isu-isu panas jelang momentum politik terus menggelinding di ruang publik. Sehingga menuangkan urusan politik dalam ruang medsos,  hampir sama halnya dengan menabur umpan ikan segar di habitat hiu yang kelaparan.

Medsos, memang menjadi satu-satunya tempat yang banyak digandrungi khalayak ramai untuk menyampaikan pendapat dan menyebar informasi.

Selain murah, simple, cepat dengan jangkauan yang luas, medsos seakan sudah menjadi jembatan kokoh bagi penggunanya dalam menjalin komunikasi.

Inilah kedikdayaan medsos. Aplikasi hasil perubahan dari teknologi web 1.0 menjadi 2.0  ini telah menjadikan kita sering lupa daratan. Sebabnya, teknoligi 2.0 telah merubah pola broadcast media monologues monolog media siaran (satu ke banyak), menjadi social media dialogoues dialog media sosial (banyak ke banyak), sehingga memudahkan  semua orang dapat saling terhubung.

Apesnya, penggunaan medsos oleh penghuninya acap kali tidak disertai dengan rasa. Kita berkomunikasi tanpa melihat sosok dan wajah lawan bicara. Masing-masing hanya menggunakan nalar dan logika kemudian dituangkan melalui gerakan jari-jemari, makanya sering tanpa sadar,  ketika menulis A dalam kondisi tersenyum pun sering terbalas dengan emosi oleh lawan bicara. Tak heran  perdebatan di kolom komentar medsos (facebook) bisa berubah dengan cepat menjadi pertengkaran yang memutus ikatan sosial.

Para psikolog sosial sudah lama meyakini bahwa pendirian paling kuat adalah yang paling resisten terhadap persuasi. Itu artinya semakin kita menantang teman-teman facebook yang mengesalkan kita, semakin kebal mereka jadinya.

Seorang penulis dan peneliti di Martha Stewart Living,  Joel Stein pernah menulis dalam artikelnya di Time, yang menyebutkan bahwa internet terkhususnya medsos merupakan tempat bagi seseorang menjadi monster dan menghancurkan hidup orang lain.  Berdalih sebagai sarana bertukar informasi yang sehat, hasilnya malah menjadi tempat untuk saling menghina dan membully orang lain.

Hal ini karena internet memiliki online disinhibition effect, di mana setiap orang dapat berkomentar semaunya, bahkan memaki, dan menghina, seperti tidak memiliki adab.

Apalagi, ruang medsos gampang dipakai sebagai penyebaran berita palsu (hoaks).  Jenis informasi ini selalu berisi unsur-unsur emosional dan itu sebabnya bisa menyebar lebih cepat dari berita sungguhan. Berita palsu sering membangkitkan emosi kita; sehingga mengundang perilaku impulsif. Penyebar berita hoaks inilah yang disebut monster oleh Joel Stein, karena banyak mudharatnya ketimbang maslahat.

Saya tak habis mengerti dengan fakta bahwa kita seringkali tidak bisa membedakan pendirian politik seseorang dengan kualitas personal seseorang yang mereka tunjukkan di dunia nyata.

Teman yang membuat status politik menjengkelkan boleh jadi adalah pribadi yang hangat dan baik hati dalam kehidupan sesungguhnya saat kita bertemu langsung.

Media sosial menghalangi kita melihat orang lain sebagai totalitas, memaksa kita memandang orang yang sikap politiknya berseberangan dengan kita secara kurang manusiawi. Sekali lagi ini membuktikan medsos  sebagai tempat berbahaya bagi percakapan tentang politik, terutama ketika dialog terjadi antara dua orang yang merepresentasikan dua pihak yang berseberangan.

Walaupun ada sebuah studi yang mengonfirmasi bahwa media sosial berguna dalam mendorong proses musyawarah yang demokratis, jika orang ingin membicarakan politik elektoral, saya sangat menganjurkan untuk melakukannya dalam sebuah percakapan tatap muka yang sehat.

Untuk itu,  lebih baik di  tahun 2019Diet Bermedsos Soal Urusan Politik, ketimbang kecimplung dan menjadi monster. Atau mungkin kita akan sama dengan cerita Sumanto pria berkumis asal Desa Pelumutan, Purbalingga, Jawa Tengah, yang sempat tenar karena perilakunya memakan bangkai manusia pada tahun 2003 silam.

Sumanto percaya bahwa daging mayat yang dimakannya bisa memberikan kekuatan supranatural. Hampir sama dengan orang mencari kebenaran pendapat di medsos. Nekat membuly,  membenci bahkan menghina asalkan kekuatan dan kebenaran pendapatnya itu diterima orang lain (***)