“Kalau begini, jujur saja, saya ragu program food estate itu berjalan baik di lapangan. Waktu akan menjawab itu. Sebab, kalau berjalan baik tidak perlu Menteri khawatir krisis beras dan melirik sagu yang telah lama dilupakan,” jelas Engelina.

Engelina mengatakan, sebenarnya kalau pemerintah di berbagai level serius untuk mengutamakan pangan lokal, maka tidak mungkin terjadi krisis pangan, karena keberagaman pangan lokal yang dimiliki Indonesia.

“Ketika sekitar tahun 1920, saat wabah flu Spanyol dan Pulau Jawa dilanda kekeringan yang menyebabkan kesulitan pangan, itu mendapat bantuan pasokan sagu dari Maluku. Tetapi, pemerintah terlalu mengutamakan impor pangan, sehingga lupa akan potensi pangan lokal yang sangat besar,” tegasnya.

Selain itu, kata Engelina, cara pandang Menteri Pertanian sangat memprihatinkan, karena memilih cara tinggal memanen hutan sagu, yang mungkin sekali mereka tidak pernah pedulikan.

Dia menegaskan, potensi sagu terbesar itu ada di Papua dan Maluku. “Pak Menteri, kawasan timur itu kawasan miskin atau dimiskinkan. Papua dan Maluku itu juara dalam kemisknan. Kok tiba-tiba mau mengandalkan pangan orang yang sudah miskin untuk mengatasi masalah krisis pangan. Ketika berpesta lupa orang miskin, ketika kelaparan ambil bagian orang miskin. Kalau tak mampu urus Negara ya jangan coba-cobalah,” cetusnya

Engelina menegaskan, Menteri Pertanian perlu memahami secara  lebih baik, sehingga tidak melihat daerah, seperti Maluku dan Papua itu sekadar sebagai cadangan pangan atau cadangan ikan dan sebagainya.