Diketahui, Kejagung menilai masalah munculnya dugaan tipikor itu terjadi pada 2019. Di mana saat itu  terjadi lonjakan kredit macet atau NPL pada LPEI sebesar 23,39%.

Asumsi Kejagung, pembiayaan LPEI terhadap sembilan debitur dilakukan tanpa prinsip tata kelola yang baik. Akibatnya, NPL meningkat dan perusahaan mencatatkan kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun.

Untuk mengungkap skandal dugaan tipikor ini, tim KEjahgung melakukan pemeriksaan terhadap para pihak terkait. Proses pemeriksaan masih akan bergulir. Hal itu nanti dijadwalkan lagi oleh Kejagung.

Sebelumnya, Kejagung pun telah memeriksa saksi lainnya, seputar pencairan dan pembayaran fasilitas kredit di LPEI.

Saksi yang diperiksa tersebut berinisial YA,pihak dari Departemen Administrasi dan Kontrol Eksposure LPEI periode 2014-2017.

Disadur dari berbagai sumber, diduga LPEI sudah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.

Laporan sistem informasi manajemen risiko juga menyebut para debitur dalam posisi collectability 5 [macet] per 31 Desember 2019.

LPEI pun ditengarai menyalurkan pembiayaan ekspor tanpa prinsip tata kelola yang baik sehingga NPL naik hingga 23,39% pada 2019. (BB-RED)