Laksana Fanus di Tengah Kota Bumi Kinanah
Catatan : Mary Toekan Vermeer
Dari Raja segala Raja Timur dan Barat, Khan Agung, kepada Qutuz Mamluk.
" Kamu tak bisa melepaskan diri dari kengerian tentara kami. Kemana kamu akan berlari? Kuda - kuda perang kami gagah, anak - anak panah kami tajam, pedang - pedang kami bagai halilintar, tentara - tentara kami tak terkalahkan. Kami akan datang dengan kekuatan penuh. Doa kamu kepada Tuhanmu tak bernilai bagi kami. Serahkan Syam, Palestina dan Mesir. Percepatkan jawabanmu sebelum api peperangan dinyalakan."
Surat itu dibaca pemimpin Mesir Saif ad-Din Muzaffar Qutuz di depan para panglimanya. Waktu itu, pasukan Tatar Mongol dianggap sebagai pasukan yang tiba - tiba datang dari gurun Gobi dengan kekuatan raksasa gurun.
Daulah - daulah Islam dibumi hanguskan oleh tentara Hulagu Khan, cucu sekaligus jelmaan Genghis Khan. Wilayah seluas Turkistan, Iran dan Irak luluh lantak diterjang amukan pasukan Tatar.
Dalam tempo satu minggu, satu juta muslimin di kota permata dunia Baghdad, dibantai tanpa ampun. Mereka tak mengerti pentingnya ilmu pengetahuan. Sungai Dijlah menghitam sebab ribuan buku - buku ilmu pengetahuan dilempar ke dalamnya, hingga kuda - kuda mereka berjalan di atas tumpukan buku - buku di sungai itu.
Kota ilmu pengetahuan, mercusuar bumi dibakar. Baranya tak padam selama lebih dari 40 hari. Sungguh momok yang menyeramkan. Tak terbayang oleh siapapun, bahkan dalam mimpi buruk paling buruk seorang anak manusia dalam lingkaran bumi.
Setelah Baghdad menjadi puing menyisakan bara yang belum juga padam, Mesir kini dalam ancaman. Para panglima tertunduk mendengar setiap kalimat surat itu. Mereka menyarankan untuk menyerah saja.
Hulagu dan tentaranya tak mungkin dikalahkan. Tatar bagai sekumpulan gajah dengan bobotnya menginjak injak belukar tak berdaya. Mereka merasa di atas angin, lalu mengamuk hancurkan sebagian bumi.
“Saya yang akan langsung hadapi Tatar wahai para pemimpin pasukan muslimin. Sekian lama kalian telah makan dari baitul mal, sementara sekarang kalian benci perang ? Saya pasti berangkat !! Siapa yang memilih jihad, angkatlah pedang - pedang kalian bersamaku !! Siapa yang tak memilih jihad, pulanglah ke rumahmu !!, " gelegar suara pemimpin Mesir itu penuh kekuatan.
3 September 1260 Masehi, tepat 25 Ramadhan 658 Hijriyah, atas izin Allah SWT, 20 ribu pasukan muslimin di bawah komando Saif ad-Din Qutuz melipat kekuatan Tatar hingga tak bersuara di kawasan Ain Jalut, Palestina.
Panglima Tatar, Baibars tewas di Bisan. Tentara Mongol porak poranda terjebak jebakan pasukan muslim. Dunia tak percaya tentara terkuat itu tekuk lutut di mata pedang - pedang para mujahid.
Tentara yang katanya tak terkalahkan itu, luluh lantak dengan satu seruan jihad, " Wa Islamaaa....wa Islamaaa. Islam memanggilmuuuu...Islam memanggilmuuu..."
Kalimat ini mampu membakar semangat jihad kaum muslimin yang mulai dingin. Api jihad menyulut hati pasukan Mamluk Mesir. Derap langkah mereka menghunjam ke bumi. Kokoh penuh percaya diri. Tatar yang beringas, terpukul mundur hingga terkunci kembali di gurun Gobi.
Dunia Islam ternganga, ternyata hanya membutuhkan seorang pemberani sekelas Saif ad-Din Qutuz. Beliau berhasil menabuh genderang perang di masyarakat Mesir. Tatar bukanlah pasukan terkuat yang tak bisa dikalahkan.
Perang ini dicatat dalam sejarah dengan nama perang Ain Jalut. Mesir disebut bumi Kinanah karena banyaknya nabi diutus ke negeri ini untuk menjaganya dari kerusakan dari manusia yang hidup di dalamnya.
Ada tradisi memasang Fanus di tengah kota Mesir hingga kini. Fanus adalah sebuah lentera raksasa yang menjadi tradisi tua di awal malam Ramadhan.
Pada masa Khalifah Al Muiz Li Dinillah (358 H), masyarakatnya begitu bersemangat menyambut datangnya malam pertama Ramadhan. Dalam keremangan malam, mereka membawa lentera - lentera menghidupi malam - malam bulan suci umat Islam.
Sejak saat itu, Khalifah memerintahkan untuk memasang lentera di sepanjang jalanan kota, selama puasa sebulan penuh. Mesir mempunyai seorang Saif ad-Din Qutuz. Beliau laksana lentera di keremangan malam.
Ketika satu persatu daulah Islam terkoyak tentara Hulagu, muslimin terpuruk ketakutan. Beliau buktikan dunia Islam belum mati. Api jihad itu perlu disulut.
Hari ini, musliminpun demikian. Seakan menyerah . Terpesona dengan peradaban dan teknologi serba canggih. Semangat jihadpun berganti hiburan. Semua yang tercium wangi Islam disemprot berbungkus kata - kata radikal seakan aroma busuk yang harus dilenyapkan.
Muslimin tersungkur dalam ketidak berdayaan. Serba tak mungkin ! Ketika narasi - narasi kemenangan mulai ditiupkan, sejarah gemilang dibaca kembali, banyak yang mengatakan : " Itu dulu, bro ! Dunia telah berubah ".
Apanya yang berubah ?
Apanya yang berbeda ?
Matahari masih bersinar, terbit daru ufuk yang sama. Bumi masih dalam lintasannya. Sunatullah masih berjalan di permukaan bumi. Al - Qur'an dan Hadits tak berubah.
Bergabunglah dalam barisan muslimin. Gelombang hijrah tampak semakin membesar. Kenali agama ini agar tak salah tujuan. Jangan beri kesempatan musuh memenggal saf - saf kita dari dalam. Lalu kitapun saling menghantam, menusuk bahkan rela memakan bangkai saudara sendiri.
Temans, singkirkan rasa saling benci, saling hasud, saling hasad, saling sikut diantara kaum muslimin. Semoga Allah mudahkan niat baik sesama muslim, mengikatkan hati kita dengan tali cinta-Nya. Cinta yang membawa kesejukan dalam jiwa - jiwa yang kerontang ilmu.
Ketahuilah, sejarah tak pernah menyimpan cerita para pecundang meskipun mereka dihadirkan di permukaan bumi Allah.
Kita memang membutuhkan seorang Saif ad-Din Qutuz, penyulut ghirah kaum muslimin. Seperti Fanus raksasa yang bertengger di tengah kota bumi Kinanah sepanjang Ramadhan. Wallahu a'lam bishowab (*)
Geldrop, 17 Ramadhan 1442 H.