Disebutkan bahwa mahluk aneh ini tertangkap di Pulau Buru yang masih termasuk Propinsi Ambon ketika itu.   Panjangnya adalah   59   inci   (sekitar   1,5   m)   dan   bentuknya   memanjang.  

Kadang   kala   mahluk   itu mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus. Telah dicoba untuk memberinya makan berupaikan kecil, kerang, ketam, dan lain-lain, tetapi ditolaknya.

Samuel mengaku setelah mengamati tentang  hewan  laut  itu. Ia pun memberikan kesimpulan bahwa  mahluk  ini  bukan lah ikan,  tetapi  mempunyai  banyak  persamaan  dengan manusia. 

Pengamatannya dan  imajinasinya dipadu  dan diperkaya  dengan  dongeng  tentang duyung  yang  berupa  mahluk  setengah  manusia  dan  setengah  ikan.

Ia akhirnya menghasilkan lukisannya yang   diberinya   judul   “Sirenne”   yang memang berpenampilan   setengah perempuan dan setengah ikan.

Syrenne dalam bahasa Inggris, diterjemahkan sebagai “Mermaid” yang kalau diterjemahkan secara literal berarti “putri laut” atau putri duyung yang dikenal sebagai makhluk mitologis yang dalam puisi-puisi kuno.

Dari catatan terjemahan ilmuwan Theodore. W. Pietsch yang dikutip dari blog Saparua menyebutkan ‘kemunculan putri duyung” di perairan Maluku,  khususnya pada wilayah kekuasaan Gubernemen Ambon pada abad ke-18 (1700an),  telah banyak menyita perhatian dan menimbulkan “perdebatan” di kalangan ilmuwan Eropa pada masa itu.

Theodore kemudian menceritakan masa -masa itu melalui artikel memukau tentang kisah dan karya Samuel berjudul ‘Samuel Fallours and his “Sirenne” from the province of Ambon’.

Theodore berkisah, Samuel Fallours, pada tahun 1712, telah mendapati “makhluk aneh” dari putranya yang membeli dari seorang “hitam” di pulau Buru.

Ia sempat memeliharanya selama 4 hari dalam bak air di rumahnya di Ambon dan “menemukan” bahwa itu mirip seorang wanita, kemudian menggambarnya.

Informasi itu kemudian sampai ke telinga Gubernur Ambon pada masa itu, Adriaen van der Stel. Sang gubernur memintanya. Hasil lukisan makhluk itu, kemudian dikirim Samuel Fallours ke Eropa. Dan kisah “menggemparkan” itu mulai jadi “perdebatan” di Eropa.

Pietsch juga menulis beberapa informasi yang sangat menarik tentang “kemunculan” putri duyung itu di Ambon. Ia menyebut bahwa 10 tahun sebelumnya (mungkin antara 1700 – 1702), putri duyung itu muncul di Nusalaut dan ditangkap. Kali ini berjenis kelamin laki-laki.

Selain itu, Pietsch juga menuturkan kesaksian dari Abrahamus Parent, seorang pendeta yang pernah bertugas di Honimoa (Saparua) sejak Februari 1704 – Desember 1706.

Pendeta itu menyebut pada suatu waktu pernah melihat kemunculan putri duyung, saat melakukan perjalanan mengunjungi gereja-gereja dan sekolah dari negeri Hulaliu ke negeri Kariu.