BERITABETA.COM, Masohi – Setelah menyampaikan keluhan dari warga di Jazirah Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) terkait keinginan untuk bergambung masuk  ke wilayah kota Ambon,  sejumlah fakta historis pun diungkap sebagai alasan, kenapa keinginan itu patut diperjuangkan.

Pemerhati masalah sosial dan juga anak adat Jazirah Leihitu,  Ahmad Salangga Kalauw, kepada beritabeta.com, kembali memaparkan historis dari keberadaan Jazirah Leihitu – Salahutu yang ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Maluku Tengah yang dinilai sudah tidak relevan.

“Dari sisi ekonomi sudah kami jelaskan, bahwa keberadaan wilayah Jazirah Leihitu maupun Salahutu itu sangat tidak diuntungkan. Dua wilayah ini menjadi bamper ekonomi bagi kota Ambon, sementara keberadaannya sangat menentukan sisi fiskal bagi kabupaten Maluku Tengah dalam bentuk DAU. Implementasinya tidak sebanding dengan kontribusi yang diberikan,” paparnya.

Menurutnya, hal ini tentu merupakan sebuah kondisi yang sudah sejak lama terjadi akibat adanya regulasi yang menetapkan kedua wilayah jazirah tersebut masuk ke wilayah Maluku Tengah.

Ahmad menjelaskan, sejak 68 tahun kedua wilayah ini merasakan dampak ketimpangan yang cukup besar, akibat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 1952 yang mengatur tentang pembentukan Daerah Swantantra Tingkat II Maluku Tengah.

Saat itu, PP tersebut ikut melepaskan Jazirah Leihitu-Salahutu sebagai wilayah terluas di Pulau Ambon, untuk bergabung dengan Kabupaten Maluku Tengah.

“Kedua wilayah jazirah ini merasakan ketimpangan dalam pertumbuhannya, terutama masalah ekonomi dan pelayanan publik. Ini yang saya bilang sudah tidak relevan jika melihat kondisi kekinian,” tandasnya.

Dikatakan, kabupaten dengan  ibukotanya yang berada di Masohi, Pulau Seram merupakan kabupaten tertua di Maluku.  Selama 68 tahun dipimpin oleh  9 bupati dengan 13 kali periodisasi kepemimpinan dan satu kali dipimpin oleh penjabat bupati, tapi yang terjadi selama ini, keberadaan dua jazirah ini sangat tertinggal.

Jazirah Leihitu – Salahutu di Pulau Ambon masuk ke Maluku Tengah dimulai dengan pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat (DATI) II Maluku Tengah berdasarkan PP Nomor 35 Tahun 1952.

Keputsuan PP ini juga tertuang dalam lembaran negara Nomor 49 tahun 1952, tentang Pembubaran Daerah Maluku Selatan dan Pembentukan Maluku Tengah dan Maluku Tenggara.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, tanggal 18 Januari 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, maka dibentuk Daerah-Daerah Swatantra.

Diantaranya adalah Daerah Swatantra Tingkat I Maluku, dengan Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor: 79/1957). Kemudian ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1958 (Lembaran Negara Nomor: 60/1958).

Tindaklanjut dari dibentuknya Undang-Undang Darurat Nomor: 22 Tahun 1957, sesuai Pasal 73 ayat 4, merupakan dasar dibentuknya Daerah-Daerah Swatantra Tingkat II di seluruh Maluku, dengan Undang-Undang Darurat Nomor: 23 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor : 80/1957).

Selanjutnya ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor: 60 Tauhun Tahun 1958 (Lembaran Negara Nomor: 111/1958) yang meliputi Daerah-Daerah Swatantra Tingkat II Maluku Tengah, Maluku Utara, Maluku Tenggara dan Kota Madya Ambon.

Dimana wilayah-wilayah yang menjadi Daerah Swatantra Tingkat II Maluku Tengah tersebut adalah: Pulau Ambon, Pulau-Pulau Banda, Pulau-Pulau Lease, Seram Timur, Seram Utara, Seram Barat, Seram Selatan dan Pulau Buru.

Ahmad mengungkapkan, yang menggajal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 1952 adalah, sengaja memisahkan (melepaskan) sebagian wilayah Pulau Ambon yaitu Jazirah Leihitu-Salahutu yang merupakan wilayah terluas di bagian Timur, Utara sampai bagian Barat Pulau Ambon untuk  menjadi satu dengan Daerah Swatantra Tingkat II Maluku Tengah.  Selain Leihitu-Salhutu, ada pula daerah-daerah lain di Pulau Seram.

“Sedangkan sebagian kecil wialyah di bagian Selatan Pulau Ambon, tetap dipertahankan menjadi Wilayah Daerah Tingkat II Kotamadya Ambon,” bebernya.

Ia mengaku, kejanggalan pembagian wilayah ini terlihat cukup nyata, karena telah memisahkan wilayah Jazirah Leihitu-Salahutu, dengan luas sekitar 384 KM2 dari luas wilayah Pulau Ambon sebesar 775 Km2 untuk bergabung dengan wilayah Tingkat II Maluku Tengah.

“Itulah awal penderitaan kami sejak bergabung dengan Kabupaten Maluku Tengah. Penderitataaan itu dilakukan olah Negara, karena sejak kurang lebih 68 tahun Jazirah Leihitu-Salahutu berada di Maluku Tengah,” tegasnya.

Ia menambahkan, dengan melihat fakta yang terjadi saat ini, seharusnya  negara kembali meninjau ulang  masalah pembagian wilayah ini, karena ini menjadi salah satu ketimpangan dalam pembangunan yang selama ini dirasakan.

“Kami punya hasil bumi dan sebagainya semua dipasarkan di kota Ambon, semantara masalah administrasi kami ada di wilayah Maluku Tengah, sudah tentu ini sangat menghambat pertumbungan ekonomi dan kesejahteraan kami. Ini yang saya sebut dengan ketimpangan,” tutupnya (BB-DIO)