LPS Edukasi Program Penjaminan Simpanan di Maluku
BERITABETA, Ambon – Sebagai upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menggelar serangkaian kegiatan sosialisasi dan edukasi di Maluku, Rabu (27/11/2018) hingga Kamis (28/11/2018).
Berbagai kegiatan diantaranya melalui workshop media, talkshow radio dan kuliah umum di Kampus Universitas Pattimura Ambon. Melalui kegiatan ini, LPS ingin memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang program penjaminan simpanan di bank guna mendukung terciptanya stabilitas sistem perbankan yang merupakan modal penting dalam mendukung pembangunan ekonomi.
“Program penjaminan simpanan ini perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat untuk memberikan rasa aman, tenang, dan pasti terhadap perbankan. Sehingga masyarakat tetap percaya dan terus menempatkan dananya di lembaga perbankan sebagai urat nadi perekonomian yang nantinya akan disalurkan oleh perbankan dalam bentuk kredit mendukung pembiayaan atau kredit usaha produktif dan pembangunan infrastruktur. Perbankan dan keuangan yang stabil adalah modal yang penting dalam pembangunan ekonomi nasional,” kata Direktur Group Pengelolaan Transformasi LPS, Suwandi pada media workshop yang diselenggarakan LPS di Hotel Santika, Ambon (28/11/2018).
Selain sebagai sarana membangun silaturahmi, melalui media workshop ini LPS juga menyampaikan pesan kepada masyarakat dan mengingatkan kembali peran dan fungsi LPS sebagai salah satu lembaga regulator keuangan di Indonesia, bersama Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Keuangan RI.
LPS adalah lembaga pemerintah yang bersifat independen memiliki tugas dan fungsi untuk memberikan penjaminan simpanan di bank, melakukan penanganan terhadap bank gagal (resolusi bank) dan turut serta dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
LPS bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan saat ini hanya berkedudukan di ibukota Jakarta, tidak memiliki jaringan kantor perwakilan di daerah.
“Pendirian LPS dilatar belakangi oleh krisis moneter tahun 1997/1998. Pada saat itu, pemerintah menerapkan blanket guarantee atau penjaminan menyeluruh dimana kebijakan tersebut membebani APBN dan menimbulkan potensi moral hazard dari para pengelola bank. Berdasarkan pengalaman tersebut, pemerintah mendirikan LPS berdasarkan Undang-Undang nomor 24 tahun 2004 yang beroperasi setahun kemudian (22 September 2005),” terang Suwandi.
Tahun 2016 lalu, Pemerintah RI dan DPR mengesahkan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) dimana dalam UU tersebut, LPS mendapat tambahan tugas dan fungsinya, antara lain tambahan cara atau instrumen dalam melakukan resolusi bank, alternatif pendanaan melalui penerbitan surat berharga (obligasi) dan LPS sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) ketika terjadi krisis yang ditetapkan oleh presiden.
Sesuai UU, semua bank yang beroperasi di Indonesia, baik bank pemerintah/BUMN, bank swasta, bank daerah/BPD, bank asing atau campuran, dan bank perkreditan rakyat (BPR) wajib menjadi peserta penjaminan LPS. Hingga September 2018, jumlah bank umum (bank BUMN, bank swasta, bank asing/campuran, bank daerah) sebanyak 115 bank, dan jumlah BPR/BPRS mencapai 1.774 bank. (BB-DIO)