Maluku Harus Menjadi Pusat Budidaya Rumput Laut Nasional

Oleh: Saadiah Uluputty (Anggota DPR RI Komisi IV, Dapil Maluku, FPKS)
Dari balik garis pantai panjang yang membentang lebih dari sebelas ribu kilometer, Maluku merupakan gugusan pulau nan elok. Ia adalah hamparan potensi biru yang belum sepenuhnya digarap dengan serius oleh negara.
Salah satu potensi unggulannya adalah rumput laut. Komoditas ini tumbuh subur di perairan tropis kita, tidak rewel, tidak membutuhkan pakan, dan dapat tumbuh pesat hanya dengan cahaya matahari dan kejernihan laut. Namun yang lebih penting, ia tumbuh seiring harapan masyarakat pesisir untuk keluar dari belenggu kemiskinan.
Dalam data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2022, produksi rumput laut nasional mencapai 9,28 juta ton. Nilai produksi nasional yang tercatat dari data 2021 berada di kisaran Rp. 28,48 triliun.
Dari jumlah itu, Provinsi Maluku menyumbang sekitar 267.677 ton, menempatkannya di urutan kedelapan secara nasional. Bukan angka kecil, tetapi masih jauh dari mencerminkan potensi sesungguhnya.
Sebab Maluku memiliki 92,4% wilayah laut, menyimpan salah satu perairan terdangkal dan terjernih di Indonesia, serta berada di zona tropis yang cocok bagi pertumbuhan jenis Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria spp., dua jenis rumput laut yang menjadi primadona dunia dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, hingga bioenergi.
Rumput laut bukan hanya produk basah yang dibudidayakan dan dipanen untuk dikeringkan. Ia adalah masa depan industri berbasis hayati. Data FAO tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia mendominasi produksi global untuk Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria, dua bahan baku utama dalam pembuatan karaginan dan agar-agar.
Karaginan sendiri merupakan bahan pembentuk gel dan pengental yang digunakan dalam industri makanan olahan, perawatan tubuh, hingga kosmetik. Nilai pasar globalnya pada 2022 mencapai USD 1,87 miliar, dan akan terus tumbuh seiring meningkatnya permintaan terhadap produk berbasis tumbuhan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.