Maluku, dengan segenap kekayaan lautnya, harus disiapkan menjadi pusat budidaya dan hilirisasi rumput laut nasional. Bayangkan sebuah kawasan industri biru di Pulau Buru atau Seram, di mana para petani rumput laut tak hanya menjual produk kering, tapi juga mengolahnya menjadi pasta karaginan siap ekspor.

Bayangkan ribuan pemuda Maluku yang kembali ke kampung untuk bekerja di sektor budidaya laut, memanen harapan di antara barisan tali bentang rumput laut yang melambai di dasar laut. Bayangkan ekspor langsung dari pelabuhan-pelabuhan pesisir ke Jepang, Korea, atau Amerika, bukan lagi melalui Surabaya atau Makassar.

Namun tentu saja, potensi tanpa ekosistem pendukung hanya akan jadi narasi tanpa makna. Kita masih menghadapi keterbatasan bibit unggul, infrastruktur pelabuhan yang belum memadai, minimnya teknologi pascapanen, dan fluktuasi harga akibat dominasi tengkulak. Apalagi belum ada kawasan ekonomi khusus (KEK) yang didedikasikan khusus untuk industri rumput laut di timur Indonesia.

Di sinilah negara harus hadir lebih progresif. Pemerintah harus menetapkan Maluku sebagai sentra budidaya dan industri rumput laut berbasis ekonomi biru melalui regulasi yang kuat dan terukur.

Harus ada peta jalan yang mengintegrasikan riset bibit fast growth, pelatihan petani, jaminan harga dasar, pembangunan pabrik pengolahan skala menengah, dan kebijakan fiskal yang mendorong investasi swasta.

Kita bisa belajar dari Cina yang mendominasi pasar global karaginan karena berhasil mengembangkan sistem industri berbasis riset dan integrasi hulu-hilir. Padahal mereka sendiri tetap bergantung pada pasokan rumput laut dari Indonesia—sebesar 92% bahan baku karaginan diimpor dari negara kita.