Oleh karena itu bagi penulis adalah, suatu produk hokum yang baik, mestinya harus mempu mnejawab kebutuhan serta perkembangan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri.

Disisi lain suatu produk hokum itu lahir secara konstitusional apabila terjadi kefakuman hokum (Recht facum), dan/atau sesuatu yang bersifat urgensi maka menjadi tanggungjawab pemangku kebuijakan untuk menutupi kekosongan itu.

Dalam kondisi hari ini tidak ada yang Namanya terjadi kefakuman hokum di bidang Minuman Alkohol, karena secara hokum hal itu ada jelas tertuang dalam norma hokum pidana kita yaitu pada pasal 300 jo 492 KUHP Jo Peraturan Menteri Perdagangan No. 25 Tahun 2019 tentang perubahan Keenam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Dimaknai dari konsep Walfare staat suatu produk hukum yang baik, paling tidak dapat memberikan progress atau menncerminkan kesejahteraan dalam masyarakat, dan bukan untuk mematikan usaha kecil masyarakat.

Dengan adanya RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) ini bagi penulis, ini bukan memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat, tetapi akan menimbulkan kematian ekonomi secara masif disisi dalam masyarakat tertentu, seperti salah satunya Maluku.

Sebenarnya solusi yang paling tepat untuk para pemangku kebijakan jika membutuhkan norma hokum secara specialis untuk Minol ini, ialah buatkan saja Perda masing – masing daerah untuk mengatur lebih detil Peredaran, Penggunaan serta Pengawasan dan Penegakan hokum terhadap Minol ini, karena pada dasarnya daerah – daerah inilah yang kemudian paling memahami seacar riil kondisi kehidupan masyarakatnya.

Ada beberapa arguemntasi yang dikemukakan pada konsideran RRU Minol ini salah satunya yakni untuk mencegah terjadinya tawuran, yang pada esensinya mengganggu ketertiban umum masyarakat, penulis berpendapat bahwa terhadap argumentasi ini tidak dapat dibenarkan secara komprehensif dikarenakan berbicara soal tawuran dan lain – lain  yang pada intinya akan menimbulkan akibat pidana sehingga hasil akhirnya pelaku akan diproeses secara pidana itu sudah masuk pada kompetensi Hukum Pidana (Straf Recht) Indonesia. Oleha karena itu argumentasi ini bagi penulis sangatlah premature.

Berikut penulis coba memberikan contoh dalam dalam tulisan ini agar dapat menjadi acuan serta pandangan kita bersama dalam menyikapi RUU ini. Misalnya dalam rumusan pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana.

Dalam rumusan pasal teresebut mensyaratkan tiga hal penting, yaitu Pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan perbuatan, dengan keadaan tenang (Bukan Mabuk).

Kedua, ada tenggang waktu tertentu antara memutuskan kehendak dan melakukan perbuatan (Bukan Mabuk). Ketiga pelaksanaan perbuatan itu dilakukan dengan keadaan tenang (Bukan Mabuk) hal tersebut dalam konteks teori kita kenal dengan “Dolus Premeditatus”.