Menyemai Kepercayaan di Atas Puing : Jalan Sunyi dari Ekonomi Media yang Rusak

Catatan : Eddy Prastyo (Editor in Chief Suara Surabaya Media)
Tahun demi tahun kita menyaksikan satu demi satu ruang redaksi tutup, wartawan kehilangan pekerjaan, dan media kehilangan nyawa. Ironisnya, semua itu terjadi di tengah gempuran arus uang yang justru semakin besar.
Tahun 2025 mencatat aliran dana iklan digital dunia menembus angka satu triliun dolar Amerika Serikat. Tapi aliran uang itu nyaris tak menyentuh akar-akar media yang membuat makna. Dana iklan mengalir, tapi pohon kepercayaan mati perlahan.
Tulisan ini sebenarnya merespon postingan Facebook Ismail Fahmi dan Wicaksono Wicaksono tentang Rusaknya Ekonomi Media. Ismail Fahmi dengan reportasenya dari Forum DW Global Media memaparkan kutipan-kutipan para ahli yang menurut saya, terlalu brutal untuk diakui sebagai kenyataan. Tapi kita sedang nyata-nyata menghadapinya.
Sedangkan Ndoro Kakung yang merespon tulisan Ismail Fahmi, memiliki pandangan agak solutif tentangnya, meskipun menurut saya, masih belum secara fokus masuk dalam akar masalah yang dialami media massa "korban disrupsi" : kepercayaan.
Membaca mereka, saya jadi tergelitik untuk mengulas lagi gagasan alternatif yang mungkin bisa mengisi khasanah berpikir kita, para punggawa jurnalistik. Saya menawarkan konsep "Trust-based Affiliate Ecosystem" untuk menjawab permasalahan tersebut, setidaknya dari sudut pengetahuan dan pengalaman saya selama 24 tahun terakhir menjadi jurnalis di Suara Surabaya Media.
Claire Atkin dari Check My Ads, dalam forum DW Global Media 2025, menegaskan realitas ini dengan bahasa yang jujur:
“Ekonomi media kita rusak. Bukan karena kekurangan uang, tetapi karena uangnya tidak sampai ke mereka yang membuat berita.”
Pernyataan itu menghantam saya secara personal. Karena saya hidup di tengahnya. Bukan sebagai analis, bukan sebagai konsultan industri, tapi sebagai orang yang selama dua dekade hidup di ruang redaksi Suara Surabaya, media lokal yang sejak lama hidup dari kepercayaan warga, bukan dari algoritma.
Saya menyaksikan dari dekat bagaimana sistem yang semula dibangun untuk memperluas jangkauan media, justru merenggut inti keberadaannya. Bagaimana media terjerumus dalam logika impresi, click-per-engage, dan bidding iklan yang tak transparan.
Bagaimana Google dan platform raksasa lainnya menyedot nilai ekonomi dari ruang interaksi sosial, tanpa pernah bertanggung jawab atas dampak kultural dan demokratisnya.
Media bukan lagi penyambung lidah publik. Ia direduksi menjadi penyedia slot kosong. Yang dijual bukan lagi konten, bukan pesan, bukan gagasan, tetapi ruang kosong yang bisa ditempeli iklan oleh siapa saja. Dalam pasar semacam ini, konten berkualitas kalah dari konten yang gampang dikunyah.
Jurnalisme yang berpihak tergeser oleh sensasi yang viral. Dan yang paling menyedihkan: kepercayaan publik perlahan hilang, bukan karena publik bodoh, tapi karena mereka lelah dikecewakan.
Kepercayaan Bukan Produk, Tapi Pohon
Kita sering berkata, trust adalah segalanya dalam jurnalisme. Tapi dalam praktiknya, trust kerap dipahami dengan cara yang salah. Ia dikalkulasi, bukan dirasakan. Ia diukur dengan metrik digital : engagement rate, sentiment score, time on site, seolah-olah kepercayaan publik bisa dikonversi menjadi angka statistik.
Padahal, bagi saya, trust adalah makhluk hidup. Ia seperti pohon. Ia tidak tumbuh dari data. Ia tumbuh dari kebersamaan. Dari interaksi yang konsisten.
Dari kehadiran yang tidak menghilang saat keadaan sulit. Trust bukan soal siapa yang paling cepat membagikan berita pertama, tapi siapa yang paling bisa diandalkan ketika keadaan genting, membingungkan, dan penuh risiko. Kepercayaan adalah pengalaman batin, bukan impresi visual.
Saya menyaksikan itu setiap hari di Suara Surabaya. Bukan dari dashboard analytic, tapi dari ribuan telepon warga yang datang bukan sekadar untuk menyampaikan keluhan, tapi untuk merasa ditemani. Untuk merasa didengarkan. Untuk merasa dihormati.
Dan di sinilah titik baliknya. Jika media ingin bertahan, maka ia harus kembali menjadi ruang hidup bagi kepercayaan. Bukan sekadar ruang tayang.
Membangun Ekosistem: Trust-Based Affiliate sebagai Jalan Tengah
Dari kesadaran itulah, kami di Suara Surabaya tengah menyempurnakan model yang kami sebut sebagai Trust-Based Affiliate Ecosystem. Model ini tidak lahir dari teori. Ia lahir dari pengalaman, dari praktik panjang menyambungkan warga dengan ruang publik, dari keinginan untuk tetap hidup secara etis dalam sistem ekonomi yang tak berpihak pada media.
Trust-Based Affiliate Ecosystem bukan sekadar model bisnis. Ia adalah ekosistem sosial. Sebuah sistem hidup yang menyatukan media, warga, institusi, dan komunitas dalam satu jaringan kepercayaan yang saling menopang.
Dalam ekosistem ini, warga tidak dianggap sebagai audiens pasif. Mereka adalah kontributor makna. Melalui telepon, WhatsApp, komentar di media sosial, mereka menyumbangkan informasi, emosi, dan rasa. Semua itu kami kurasi dan rawat bukan hanya sebagai sumber berita, tapi sebagai denyut batin kota.
Redaksi dalam ekosistem ini tidak bekerja sebagai pencari berita yang dibayar per klik. Redaksi menjadi kurator rasa sosial, menyaring informasi bukan hanya berdasarkan nilai berita, tetapi berdasarkan nilai kepercayaan. Redaksi bertugas menjaga resonansi batin publik, bukan sekadar menggenapi target traffic.
Dan pihak ketiga - pemerintah kota, perusahaan, lembaga sosial - tidak kami tempatkan sebagai pengiklan, tapi sebagai mitra afiliasi nilai. Mereka hadir dalam ekosistem bukan untuk membeli ruang, tetapi untuk menitipkan tanggung jawab sosialnya kepada sistem yang dipercaya warga.
Kami membangun sistem pelaporan insight kota berdasarkan data interaksi warga. Kami menyusun traffic report sebagai peta rasa. Kami mengembangkan platform AI Backoffice yang tidak sekadar mengolah data, tapi mengkonversi trust menjadi intelligence. Semua itu kami kerjakan tanpa menjual data warga. Karena data adalah harta bersama, bukan komoditas algoritma.
Sistem Ini Bisa Direplikasi, Tapi Tidak Bisa Diburu
Model Trust-Based Affiliate Ecosystem bukan solusi instan. Ia tidak bisa di-copy-paste ke media manapun tanpa akar. Karena sistem ini bukan produk. Ia adalah pohon yang harus ditanam.
Media yang ingin membangunnya harus memiliki komitmen jangka panjang. Harus berani mengambil posisi, bukan pada sisi pasar, tapi pada sisi publik. Harus punya etika baru: bahwa trust tidak bisa dimonopoli, tidak bisa diakuisisi, dan tidak bisa dikapitalisasi secara sepihak.
Dan bagi media muda, yang belum memiliki akar panjang seperti Suara Surabaya, mereka tidak perlu takut. Mereka bisa memulai dari kecil, dari konsistensi interaksi, dari komitmen terhadap warga, dari ketekunan menjaga suara lokal. Atau mereka bisa berkolaborasi dalam jaringan yang sudah hidup. Karena trust, seperti air, bisa mengalir. Ia hanya perlu kanal yang benar.
Saya sadar benar, bahwa di era krisis seperti ini, media butuh hidup dalam "survival mode". Tapi hendaknya solusi-solusi jangka pendek ini tidak mengganggu, atau bahkan menutup peluang-peluang media yang sedang bertumbuh membangun akar kepercayaannya.
Ini membutuhkan "social wisdom" tersendiri dari para pengelola media, agar solusi jangka panjang tidak menjadi semacam "fast income trap". Jebakan pendapatan cepat yang menutup ruang pengembangan ekosistem media di masa depan.
Ini karena ekosistem yang saya paparkan, membutuhkan pasokan "darah" dan "udara" dari denyut kehidupan masyarakat yang otentik, dinamis, dan percaya. Bahan mentah ini yang menjadikan insight berkualitas dari keseluruhan proses kolaborasi manusia dan mesin di dalamnya.
Menjadi Tempat Berteduh di Tengah Dunia yang Terbakar
Saya menulis ini bukan untuk menciptakan ilusi heroik. Saya tahu betapa kerasnya medan ini. Media sedang berdarah-darah. Sistem sedang tidak adil. Platform terlalu kuat. Tapi saya percaya: selalu ada ruang untuk menanam.
Trust bukanlah sumber daya yang bisa diekstraksi. Ia adalah spiritus vitalis, napas yang membuat media tetap hidup, bahkan ketika semua pendapatan lenyap.
Selama kita masih punya rasa, selama kita masih percaya pada kehadiran, selama kita masih mau mendengarkan, maka kita masih bisa menumbuhkan media yang berarti.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, dari pohon-pohon trust yang kita tanam hari ini, akan tumbuh hutan kecil. Tempat orang-orang datang bukan untuk mencari berita, tapi untuk mencari arah. Dan itu, menurut saya, adalah peran tertinggi dari sebuah media: bukan sekadar menyampaikan apa yang terjadi, tapi menjadi tempat orang merasa tidak sendirian. “Media hidup bukan karena impresi, tapi karena resonansi.” (*)