Menyongsong 75 Tahun NKRI, Mau Dibawa Kemana Maluku?

Dalam hal lain terkait dengan problem Maluku dengan mengutif penjelasan anggota DPR RI Saadiah Uluputy dalam silaturrahmi bersama MUI Maluku 27 Juli 2020, soal perjuangan RUU Kepulauan, perlu kita bicara formula-formula baru, karena itu perlu duduk dengan Ormas/ OKP.
Salah satu formula baru yang menjadi solusi dimaksud menurut Saadiah Uluputy adalah Maluku harus minta dan menyebut angka langsung misalanya Rp10 T, atau lebih karena pemerintah akan berat misalanya DAU Maluku dihitung berdasarkan luas wilayah laut, angkanya sangat besar.
Kita butuh RUU Kepulauan sebagai pintu masuk untuk mendapat dana menyelesaikan persoalan Maluku yang sangat kompleks ini. Belum lagi cost copery PI 10% Blok Masela sebagai saham, uang dari mana lagi. Kita butuh kebijakan struktural yaitu UU Kepulauan harus disahkan, apalagi Blok Masela baru beroperasi pada tahun 2027.
Jika melihat semua persoalan ini, maka apa yang didegungkan setiap anak Maluku, apakah akademisi, politisi, birokrat, swasta dan bahkan pengakuan publik bahwa sumberdaya alam yang dimiliki Provinsi Maluku sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia, hanya sebuah ilusi.
Karena, faktanya masih sangat kontradisksi dengan data statistik. Dimana Provinsi Maluku masih mengalami ketertinggalan jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia.
Mengapa Provinsi Maluku masih ketinggalan? Pertanyaan ini harus dijawab oleh setiap anak Maluku. Apakah kita harus pasrah dan terus menerus menerima fakta dan kondisi ini? Ataukah memang kita tidak sadar akan kondisi ini?
Padahal Maluku juga punya historis yang kuat dalam upaya memerdekakan NKRI, tapi semua itu hanya tercatan dalam lembaran sejarah. Negara tidak melihat historis itu. Bukankah dalam pendekatan agama disebutkan “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, keculi mereka yang merubahanya sendiri”
Tawaran pembicara sebagai solusi boleh jadi sebagai jawaban. Pertama, Negara harus merubah regulasi sehingga Provinsi Malaku harus mendapat hak atas pengelolaan kekayaan minimal 50%. Kedua, jika tidak bentuk NKRI dirubah menjadi Negara Federal agar Maluku bisa mengurus kekayaan sendiri. Dan ketiga, Maluku harus lepas untuk mengurus diri sendiri.
Solusi-solusi tersebut jika dilihat secara propabilitas statistik, ketinya memiliki peluang yang sama, akan tapi tidak mudah untuk direalisasikan. Sebaiknya mari kita kaji lebih lanjut, agar kita harus keluar dengan satu solusi yang terbaik.
Intinya semua ini harus terus diperjuangkan demi tegaknya keadilan, dengan tidak menutup kemungkinan, hemat penulis tawaran atau solusi lain adalah terbentuknya ‘OTONOMI KHUSUS MALAKU,” seperti yang diberikan negara kepada Provinsi Papua, Provinsi Aceh dan atau Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) dan RUU Daerah Kepulauan.
Sudah saatnya ganerasi penerus/pewaris Maluku harus berdiri dan bicara melatakan batas untuk kemudian memandang masa depan Maluku akan datang. Dimanakah posisi Provinsi Maluku dalam skala dengan ukuran indikator makro ekonomi, ketika NKRI ini berusia 100 tahun?
Satu ungkapan sangat bermakna dalam kaitan dengan harapan tersebut yaitu “Generasi yang baik itu bukan hanya mampu memelihara warisan budaya, tapi generasi yang bisa mengukir satu peradaban yang nantinya akan dikenang dan diwarisi oleh The Next Generation akan datang” (Fesal Musa’ad Seminar Moderasi Beragama media 2019). Semoga bermanfaat (***)