Oleh : Eddy Prastyo (Editor in Chief/ Suara Surabaya Media)

"Fungsi jurnalisme bukan ikut menjadi pedagang atensi yang mengobral emosi, tetapi menjadi penjaga ruang publik yang sehat: memverifikasi fakta, memberi konteks, dan mengajak refleksi"

Kerusuhan yang pecah setelah meninggalnya Affan, pengemudi ojek online yang terlindas kendaraan taktis di Pejompongan, menjadi cermin telanjang bagaimana politik dan ekonomi atensi bekerja dalam tubuh masyarakat kita.

Sebuah video berdurasi pendek yang viral di media sosial, diperbanyak oleh akun-akun yang haus engagement, sudah cukup untuk mengubah duka menjadi amarah. Lalu amarah menjadi kerusuhan dan pengrusakan.  

Fakta memang menjadi titik mula, tetapi narasi yang membumbui fakta itulah yang menyulut ledakan emosi. Di tangan influencer, buzzer, atau sekadar akun anonim, rekaman itu bukan lagi sekadar dokumentasi, melainkan bahan bakar politik atensi yang diarahkan untuk menggiring opini, menekan institusi, bahkan menciptakan delegitimasi.

Sejarah sebenarnya sudah mengajarkan pola ini. Kekuasaan Roma menjaga stabilitas dengan “bread and circuses”, mengalihkan atensi rakyat dengan spektakel.

Di abad ke-19, pers kuning Amerika mengompori Perang Spanyol dengan judul sensasional yang kemudian disesali sendiri oleh jurnalisnya. Di abad ke-20, propaganda radio Nazi dengan cerdik menguasai pikiran massa, tetapi akhirnya runtuh ketika berhadapan dengan realitas perang dan kehancuran ekonomi.

Kini, media sosial hanya mempercepat siklus yang sama: klik, bagikan, ledakan massa. Bedanya, kalau dulu butuh mesin cetak atau jaringan radio nasional, kini cukup sebuah gawai dan algoritma yang memperbesar apa yang paling memicu emosi.

Di tengah arus inilah muncul tesis Timothy Ronald dan Ferry Irwandi yang belakangan ramai dikutip.

Mereka menyatakan uang hanyalah level awal permainan, sementara atensi adalah rajanya; atensi lebih langka daripada uang; siapa menguasai narasi, menguasai dunia.  

Bahkan atensi dianggap zero-sum, artinya waktu yang dipakai orang untuk menonton A adalah kekalahan bagi B. Ada pula klaim futuristik bahwa teknologi akan membuat makanan dan pakaian nyaris gratis dalam 50 tahun, sehingga nilai ekonomi berpindah penuh ke atensi.

Sekilas, argumen itu tampak tajam. Herbert Simon sejak 1971 sudah menulis tentang “Poverty of Attention” dalam dunia yang kebanjiran informasi. Fakta empiris juga mendukung: belanja iklan digital global mencapai 616 miliar dolar pada 2023, dengan Facebook, Google, dan TikTok meraup keuntungan besar karena mampu memonopoli atensi.

Kasus Affan juga menunjukkan bagaimana atensi yang terkonsentrasi dapat melahirkan dampak politik instan. Namun di sinilah letak bahayanya.

Tesis Timothy dan Ferry jatuh pada determinisme atensi yang terlalu simplistik. Atensi memang langka, tetapi tidak otomatis menjadi nilai tertinggi. Atensi bisa dibeli dengan skandal, hoaks, atau clickbait, tetapi nilainya cepat menguap.

Yang membuat atensi bertahan bukan intensitas sesaat, melainkan kepercayaan yang menambatkannya pada reputasi, integritas, dan otoritas moral.