Narasi, Amarah, dan Kerusuhan : Belajar dari Politik Atensi
Sejarah membuktikan hal ini berulang kali. Pers kuning Amerika memang meraih oplah besar, tetapi kehilangan legitimasi sehingga melahirkan jurnalisme investigasi yang lebih beretika.
Propaganda Orde Baru bisa bertahan tiga dekade, tetapi runtuh ketika krisis ekonomi membuat publik mencari kebenaran di luar narasi resmi.
Era clickbait media daring di 2010-an menghasilkan trafik fantastis, tetapi juga mempercepat erosi kepercayaan publik pada media arus utama. Dengan kata lain, rezim atensi yang tidak menanam trust akan selalu berakhir sebagai noise sementara.
Justru di sinilah jurnalisme menemukan relevansinya. Fungsi jurnalisme bukan ikut menjadi pedagang atensi yang mengobral emosi, tetapi menjadi penjaga ruang publik yang sehat: memverifikasi fakta, memberi konteks, dan mengajak refleksi.
Dalam kerusuhan Affan, peran media seharusnya bukan sekadar menyiarkan kemarahan, tetapi juga membongkar bagaimana narasi viral diproduksi, siapa yang mengedarkan, dan apa konsekuensinya bagi masyarakat. Dengan cara itu, atensi yang liar bisa ditambatkan pada kepercayaan.
Maka kritik saya terhadap tesis Timothy dan Ferry sederhana: mereka benar membaca gejala, tetapi keliru menawarkan resep. Atensi memang raja, tetapi tanpa kerajaan bernama kepercayaan, ia hanyalah boneka sesaat.
Narasi memang bisa diciptakan, tetapi tanpa verifikasi realitas, ia akan runtuh oleh kenyataan. Zero-sum atensi memang ada, tetapi ekosistem jurnalisme bisa mengubahnya menjadi kolaboratif. Dari berita ke diskusi, dari diskusi ke aksi sosial.
Kerusuhan Affan memperingatkan kita semua bahwa atensi yang dilepaskan tanpa kendali bisa membakar. Jalan keluarnya bukan menghindari atensi, melainkan mengolahnya dengan kejujuran.
Jurnalisme yang berbasis kepercayaan adalah satu-satunya cara agar energi publik tidak berhenti pada kemarahan, tetapi berubah menjadi kesadaran dan solusi. Karena pada akhirnya, sejarah membuktikan: atensi adalah kilatan, tapi kepercayaan adalah nyala yang bertahan. “Atensi itu kilatan, kepercayaan adalah nyala yang bertahan.” (*)