Dulunya, lokasi yang menjadi tempat hidup Minan dan anggota kelompoknya adalah hutan lebat, yang mereka sebut dengan nama Kubang Ujo. Penamaan Kubang Ujo mengacu pada nama tempat kubangan tempat pemandian gajah yang disebut dengan ujo.

Kini tidak ada lagi bekas gajah ditemukan di wilayah itu. Sejak bergantinya hutan di wilayah itu menjadi perkebunan sawit besar dan lengkap dengan lahan plasma untuk warga transmigrasi yang didatangkan dari luar Sumatera. 

Perubahan hutan ini, telah mengantarkarkan Orang Rimba pada kemelaratan yang tidak berkesudahan, dan menyebabkan mereka sangat rawan dengan beragam penyakit yang menginggahi mereka.

“Penyakit makin beragam dan kondisi perekonomian yang sangat sulit menjadikan kami sulit untuk berpenghidupan,”kata Minan. 

Keragaman penyakit pada Orang Rimba 

Tidak hanya TB Paru, serangan penyakit yang hadir di Orang Rimba sejak beberapa tahun belakangan ini semakin beragam. Penyakit yang dulunya tidak ada dalam pengetahuan Orang Rimba semakin banyak menyinggahi mereka.

Penyakit demam berdarah dan malaria merupakan penyakit menular yang ditularkan melalui perantara atau gigitan vektor nyamuk Aedes Aegypti dan Anopheles, kini semakin banyak di derita Orang Rimba.

Berdasarkan penelitian Eijkman,-kini BRIN, pada tahun 2015 lalu, prevalensi penyakit melaria pada Orang Rimba mencapai 24,26 persen angka ini menunjukkan bahwa dalam 100 Orang Rimba, terdapat 24 orang yang terkena malaria, jauh lebih tinggi dari angka Dinas Kesehatan Provinsi Jambi yang menunjukkan pada tahun 2020 hanya ada 68 kasus malaria. 

 

 

Tingginya angka paparan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk ini, diduga akibat perkembangan vektor penyakit ini dapat dipengaruhi oleh iklim yang berubah. Hal ini disebabkan  karena unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan, dan populasi nyamuk tersebut. Sebagai contoh, curah hujan dengan penyinaran matahari yang relatif panjang turut mempengaruhi perindukan nyamuk sehingga nyamuk berkembangbiak lebih cepat dan lebih masif. 

Perubahan iklim dapat memicu perkembangbiakan penyakit tular vektor karena berkaitan dengan suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Vektor adalah hewan avertebrata yang menularkan agen penyakit.

Perubahan iklim telah mempengaruhi siklus hidup nyamuk dan intensitas isapan nyamuk. Hal ini karena nyamuk adalah hewan ectothermic, yaitu suhu tubuhnya sangat tergantung dengan suhu lingkungan.

Peningkatan suhu akan mempercepat proses perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Perubahan iklim juga akan mempercepat nyamuk betina dewasa untuk mencerna darah yang dihisap, sehingga intensitas penghisapan akan semakin tinggi. Hal ini berakibat ke peningkatan frekuensi penularan penyakit.

“Ini juga yang terjadi dilingkungan tempat tinggal Orang Rimba, terutama pada Orang Rimba yang tinggal tidak lagi dalam kawasan hutan, yaitu di perkebunan kepala sawit dan hutan karet,” kata Mariya Fasilitator Kesehatan KKI Warsi. 

Menurut data Kementrian Kesehatan, jenis-jenis nyamuk yang dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim adalah Anopheles gambiae, A. funestus, A. darlingi, Culex quinquefasciatus, dan Aedes aegypti. Culex sp merupakan salah satu vektor penular filariasis dan termasuk nyamuk yang bersifat antropofilik (gemar menghisap darah manusia). Aktifitas menghisap dilakukan pada malam hari dan di luar rumah. 

“Dengan kondisi Orang Rimba yang tinggal tidak dalam rumah tertutup maka peluang untuk digigit nyamuk ini semakin terbuka dan pada akhirnya menimbulkan kerentanan pada suku ini. untuk itu, sangat penting adanya sejumlah langkah yang bisa dilakukan guna mengendalikan situasi ini,” kata Mariya.

Kelangkaan pangan 

Perubahan lingkungan dan kondisi cuaca yang tidak menentu juga turut mempengaruhi pasokan pangan Orang Rimba. Termasuk Orang Rimba yang masih tinggal di daerah yang berhutan.

Sebagai contoh Orang Rimba yang tinggal di wilayah Sungai Terap, yang secara administratif masuk ke wilayah Desa Jelutih Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi.