Pakai Konsep LNG untuk Blok Masela, Bukti Keputusan Tepat Presiden Jokowi
Oleh: Yoga P. Suprapto
Mundurnya suatu perusahaan Migas sebesar dan setenar Shell dari suatu proyek Migas di Indonesia atau dimanapun di dunia, tentu itu berita besar.
Diperbincangkan, diperdebatkan dan dipertanyakan seperti yang salah pastilah negara yang ditinggalkan Shell. As if, Shell can do no wrong.
Tahun 2016, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memindahkan konsep LNG Laut (FLNG, Floating LNG) gagasan Shell menjadi LNG di darat, tentu juga berita besar.
Diperbincangkan, diperdebatkan dan dipertanyakan seperti yang salah dan yang perlu disesali pastilah negara yang tidak sejalan dengan gagasan Shell, sampai-sampai Shell mundur dari negara tersebut.
Keterkaitan Shell yang sering juga dikenal sebagai Royal Dutch Shell- dengan Indonesia bisa dirunut jauh ke belakang ke tahun 1890-an pada saat terbentuknya Royal Dutch Petroleum Company, dengan sumur minyak pertamanya Telaga Tunggal-1 di blok Telaga Said, Sumatra Utara.
Shell juga membangun Kilang BBM Plaju 1930 yang kini menjadi bagian dari Pertamina RU-3 Plaju/Sungai Gerong. Gagasan Kilang LNG terapung (FLNG) ditawarkan Shell ke Pertamina sekitar tahun 2009. Saat itu FLNG Shell masih diberi istilah gFLNG atau generic FLNG karena rancang bangun nya masih bersifat umum (generic) belum spesifik untuk suatu lokasi proyek tertentu.
Tim Pertamina waktu itu akhirnya diberi izin untuk masuk ke data room gFLNG di Den Haag yang sangat rahasia. Namun akhirnya kesepakatan FLNG dengan Pertamina gagal juga karena berbagai hal. Tahun 2011, Shell masuk ke blok Masela, Maluku dengan menguasai 35% dari participating interest PSC Masela.
Tahun 2015, Shell juga masuk sebagai operator Blok Pulau Moa Selatan, Maluku. Sebelum Shell mengusung FLNG di blok Masela, Inpex sendiri sejak awal memang sudah merencanakan pengembangan blok Masela dengan konsep FLNG, awalnya dengan kapasitas 2.5 juta ton/tahun kemudian dinaikkan menjadi 4.5 juta ton/tahun seiring dengan diketemukannya cadangan gas tambahan.
Tahun 2011 setelah Shell masuk, rancang bangun FLNG dinaikkan lagi menjadi 7.5 juta ton/tahun, 2 kali lebih besar dari kapasitas FLNG Prelude, Australia yang hanya 3.6 juta ton/tahun. Padahal waktu itu Prelude FLNG baru mulai konstruksi tahun 2012 di galangan kapal Korea.
Sama sekali belum ada rekam jejak keberhasilan konstruksi proyek, apalagi operasi. Lompatan rancang bangun lebih dari 200 persen dari FLNG Prelude yang belum terbuksi sukses tersebut mulai menuai banyak pertanyaan dan kontroversi.
Angka 7.5 juta ton/tahun LNG itu kurang lebih sama dengan 4 unit kilang LNG di Arun, 3 unit kilang LNG di Bontang dan 2 unit kilang LNG di Tangguh, Papua.
Kenapa tidak dibangun di darat saja? Yang sudah terbukti sukses dilakukan di Indonesia, dengan keterlibatan pihak Indonesia yang lumayan besar, dengan peluang pengembangan industri hilir petrokimia yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, dengan peluang pengembangan wilayah dan masyarakat Maluku sekitar kilang LNG darat.
Proyek FLNG Prelude Australia sebagai proyek FLNG pertama dan terbesar di dunia, juga menuai banyak kontroversi. Dipuji banyak orang karena keberanian Shell melakukan terobosan teknologi, namun juga sangat dipertanyakan apakah FLNG Prelude ini sebuah proyek yang dianggap berhasil seperti tujuannya semula atau malah dianggap kegagalan total eksperimen teknologi FLNG Shell.
Shell menjuluki proyek FLNG Prelude ini sebagai Game Changer karena diharapkan dapat mengubah bahkan memutarbalikkan pola pikir pengembangan bisnis LNG. Dapat dibangun lebih cepat dari LNG darat karena tidak memerlukan penyiapan lahan, dengan tenaga kerja produktifitas tinggi di satu galangan kapal kelas dunia, dengan biaya yang lebih murah, dan kelak dapat dipindahkan dan dimanfaatkan ke tempat lain tanpa ada lagi investasi tambahan.
Namun, nyatanya pelaksanaan proyek FLNG Prelude tidak seindah harapan semula. Konstruksi proyek FLNG Prelude dimulai Oktober 2012 di galangan kapal Samsung, Korea dan kemudian mulai berproduksi Juni 2018.
Hampir 6 tahun dari mulai konstruksi sampai produksi LNG perdana. Ini lebih lambat 2 tahun dari rata-rata penyelesaian proyek LNG darat yang rata-rata satu tahun.
Pengapalan perdana akhirnya berhasil dilakukan pada Juni 2019. Satu tahun setelah produksi LNG perdana, kilang LNG darat umumnya dapat melakukan pengapalan perdana dalam waktu 4 – 6 bulan sejak mulai produksi.
Biaya awal proyek diperkirakan beberapa analis sekitar 10 – 12 Milyar dolar Amerika, namun setelah proyek selesai para analis memperkirakan biaya proyek membengkak sampai 17 Milyar dolar Amerika, bahkan ada yang memperkirakan sampai 19 Miliar dolar Amerika. Itu untuk kapasitas FLNG “hanya” 3.6 juta ton/tahun.
Shell sendiri tidak pernah mengumumkan biaya proyek FLNG Prelude. Setelah pengapalan perdana Juni 2019 tersebut, FLNG Prelude berhenti berproduksi pada Februari 2020.
Diberitakan disebabkan oleh beberapa masalah keselamatan dan pada sistem ketenagalistrikan. Namun, penghentian operasi juga terjadi lagi pada tahun 2022, sehingga baru pada September 2022 mulai beroperasi lagi karena berbagai persoalan.
Siapa Bermain Angka?
Catatan perjalanan pengembangan dan rekam jejak proyek FLNG Prelude itu penting bagi evaluasi pengambilan keputusan pemindahan LNG terapung (FLNG) Masela menjadi LNG darat. Terutama karena kapasitas rancangan FLNG Masela waktu itu 7.5 juta ton/tahun LNG atau lebih dari 200 persen kapasitas FLNG Prelude.
Pertama, adanya resiko teknis atas lompatan jauh kapasitas FLNG Masela. Merancang suatu proyek baru dengan kapasitas 200 persen dari fasilitas yang sudah berjalan baik saja bukan hal yang lazim dilakukan didunia industri migas. Apalagi 200 persen dari kapasitas fasilitas yang belum terbukti berjalan baik. Nyatanya FLNG Prelude malah banyak meleset dari sasaran rancang bangun awal.
Industri migas umumnya melakukan pengembangan kapasitas rancang bangun secara bertahap, 20 – 30 persen lebih tinggi dari kapasitas sebelumnya. Industri LNG darat juga begitu, pengembangan kapasitasnya dilakukan secara bertahap dengan hati-hati.
Rasanya belum hilang dari ingatan kita bagaimana unit RFCC Pertamina Balongan dikembangkan dengan kapasitas 200 persen dari unit RFCC serupa yang ada dan berujung pada berbagai masalah teknis dan operasional.
Kedua, biaya proyek FLNG Masela. Entah disengaja, atau karena ketidaktahuan atau karena kekhilafan, yang saat ini beredar di media, termasuk juga media internasional berbahasa Inggris adalah bahwa “biaya Kilang LNG darat Masela yang 20 Miliar dolar Amerika itu 5 Miliar dolar lebih mahal dibanding biaya FLNG Masela yang 15 Miliar dolar Amerika”.
Mari sedikit kita telisik darimana angka 20, 5 dan 15 itu muncul. Angka 20 Miliar dolar Amerika itu angka resmi dari POD (Plan of Development) LNG darat Masela dengan kapasitas 9.5 juta ton/tahun yang disampaikan oleh Inpex dan disetujui oleh SKK Migas, tahun 2019.
Angka 15 Miliar dolar Amerika itu angka resmi dari POD (Plan of Development) FLNG Masela dengan kapasitas 7.5 juta ton/tahun yang disampaikan oleh Inpex dan disetujui oleh SKK Migas, tahun 2016.
Jadi, tentunya ada selisih 5 Miliar dolar, yakni 20 Miliar dolar dikurang 15 Miliar dolar. Jadi LNG Darat Masela 5 Miliar dolar Amerika lebih mahal dari LNG Laut/Terapung Masela. Gampang, sederhana, jelas dan... salah..!
Kekeliruan pertama karena angka 20 dan 15 tersebut mewakili dua biaya proyek LNG dengan kapasitas yang berbeda. Kekeliruan kedua, karena biaya 15 Miliar dolar Amerika di atas tidak didasarkan pada biaya FLNG yang sudah terbukti lancar beroperasi, yaitu FLNG Prelude yang pada tahun 2015 memang belum selesai dibangun.
Yang lebih tepat adalah menghitung perkiraan biaya FLNG Masela berdasarkan biaya proyek FLNG Prelude setelah selesai dan beroperasi lancar. Biaya proyek Prelude pada awal proyek (2012) direncanakan sebesar 12 Miliar dolar Amerika, namun setelah proyek selesai dan beroperasi (2019) membengkak.
Sebagian analis memperkirakan 17 Miliar dolar Amerika namun ada analis ternama yang memperkirakan mencapai 19.3 Miliar dolar Amerika. Untuk kapasitas 3.6 juta ton/tahun LNG.
Seandainya kita ambil data biaya FLNG Prelude yang rendah saja, yaitu 17 Miliar dolar Amerika, maka untuk kapasitas FLNG Masela (seandainya ada), biaya proyeknya adalah sekitar 30 Miliar dolar Amerika. Biaya ini memang tidak berbanding lurus dengan kapasitas 9.5 dibagi 3.6.
Proyek serupa dengan kapasitas dua kali lebih besar biaya proyek nya tidak menjadi dua kali lebih mahal tetapi hanya menjadi 1,7 kali lebih besar. Dalam industri, hal ini dikenal sebagai sixth power cost capacity factor. Perkiraan biaya FLNG Masela (seandainya ada) yang 30 Miliar dolar Amerika inilah yang harus dibandingkan dengan biaya LNG darat Masela 20 Miliar dolar Amerika. Artinya ada potensi penghematan 10 Milyar dolar Amerika dengan keputusan memindahkan proyek Masela menjadi LNG darat.
Dari sisi biaya proyek, keputusan LNG darat Masela merupakan keputusan yang sudah tepat. Ditambah lagi terbukanya peluang pengembangan industri petrokimia di darat yang menaikkan nilai tambah ekonomi nasional, naiknya besaran kandungan dalam negeri proyek dari 10 persen untuk FLNG menjadi sekitar 40 persen untuk LNG darat, serta potensi pengembangan wilayah dan masyarakat Maluku sekitar lokasi LNG darat. Namun, peran perusahaan sekelas Shell dalam mega proyek sebesar LNG Masela tentu tidak dapat diabaikan begitu saja.
Suatu proyek atau bisnis yang ditinggalkan Shell tentu kemudian menimbulkan pertanyaan apakah bisnis atau proyek tersebut masih dapat terus berjalan tanpa kehadiran dan dukungan Shell.
Untuk itu marilah kita lihat faktor yang menentukan sukses tidaknya suatu pengembangan proyek LNG dan bagaimana Shell berperan dalam masing-masing faktor tersebut. Apakah proyek kilang LNG darat Masela akan tetap berjalan lancar atau menjadi terkendala dengan mundurnya Shell.
Dari sisi rancang bangun teknis, ketergantungan proyek LNG darat pada Shell tidak begitu besar. Banyak perusahaan lain, misalnya Pertamina sudah membuktikan berhasil dengan baik dalam melakukan rancang bangun dan mengelola pembangunan kilang LNG darat di Arun, Bontang, Tangguh 1/2 dan Donggi- Senoro.
Hampir seluruhnya dilakukan dengan tenaga ahli dan pekerja Indonesia. Dengan atau tanpa Shell, rancang bangun dan konstruksi kilang LNG darat sudah mendekati tingkat kematangan dengan sedikit saja perubahan teknologi.
Dari sisi usaha mendapatkan pasar/pembeli LNG, justru peran Inpex yang akan sangat berarti dan penting. Inpex, yang mirip seperti Pertamina nya negara Jepang tentu tidak terlalu sulit untuk mendapatkan pasar Jepang.
Perlu dicatat bahwa semua proyek LNG saat ini sampai 5 tahun ke depan menhadapi masa-masa sulit, banjir pasokan LNG murah dari Amerika Serikat dan Kanada, dibukanya kembali moratorium perluasan kilang LNG Qatar yang juga dapat menghasilkan LNG dengan harga yang sangat bersaing, pasokan baru dari negara-negara Afrika Timur serta tentunya ancaman adanya resesi ekonomi dunia karena wabah Covid-19.
Dari sisi kemampuan meng-operasikan kilang LNG darat, peran Shell juga tidak akan terlalu besar. Pihak Indonesia sudah terbukti di kilang-kilang LNG Arun, Bontang, Tangguh dan Donggi-Senoro mampu mencapai operational excellence kelas dunia, handal, aman dan selalu dapat memenuhi kontrak penjualan LNG.
Peran Shell paling besar dalam proyek kilang LNG darat adalah dari sisi pendanaan proyek. Walaupun suatu proyek LNG bisa didanai 70 persen dari pinjaman, namun pemilik proyek masih wajib setor 30 persen dana tunai untuk proyek.
Untuk proyek LNG darat Masela, ini artinya sekitar 7 Miliar dolar Amerika untuk masa proyek empat tahunan. Besar sekali. Untuk perusahaan yang punya saham 35 persen seperti Shell, dana tunai yang harus disediakan sekitar 600 juta dolar tiap tahun selama empat tahun. Hanya untuk satu proyek saja!
Untuk sekelas Shell, Inpex dan perusahaan migas global lainnya tentu tidak menjadi masalah. Pengganti Shell tentu harus mampu menyediakan dana tunai proyek sebesar ini.
Kepergian perusahaan sekelas Shell dari proyek LNG darat Masela pasti ada konsekuensinya, paling tidak dari segi pendanaan proyek dan akses ke penyandang dana.
Tapi itu bukan akhir segalanya, bukan berarti kiamat untuk LNG darat Masela. Tanpa Shell kita perlu lebih waspada, lebih hati-hati (prudent) dan lebih kerja keras. Kan, kita sudah pengalaman membangun empat kilang LNG darat di Indonesia, semua sukses, lancar, tepat waktu, beberapa malah lebih cepat, dan tepat biaya, tidak ada yang membengkak biayanya.
Dengan segudang pengalaman membangun kilang LNG darat itu, masak baru ditinggal Shell saja membuat kita jadi keringat dingin?
Untuk itu, kebijakan Presiden Joko Widodo memindahkan kilang Blok Masela dari luar ke darat merupakan kebijakan yang tepat, jika berkaca dari pengalaman kilang terapung di Prelude Australia yang masih diliputi berbagai persoalan (*)
Penulis adalah, Praktisi Profesional Industri Migas. Pernah menjabat Presiden Direktur Kilang LNG Badak, Pimpinan Proyek LNG Tangguh, dan VP Pengembangan Bisnis Proyek LNG Donggi-Senoro.