Sejalan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, Undang-Undang No. 22 1999 merupakan konsekuensi dari keinginan reformasi untuk menegakkan kehidupan pendidikan yang demokratis (Naning Yuliana, 2020).

Pendidikan berbasis sentralistik walaupun dipandang sebagai penghambat sistem pendidikan nasional yang bersifat birokratik-sentralistik, karena menitik beratkan pada kekuasaan srukturalisasi.

Padahal kita ketahui bahwa pada dasarnya birokrasi pemerintahan tidak dapat terpisahkan dari sebuah kekuasaan dikarenkan birokrasi masih dimaknai sebagai suatu mekanisme penyelenggarana administrasi kekuasaan (J. H. Arsyad dan Dian Karisma, 2018).

Perlu penyelenggaraan pendidikan berbasis setralistik yang benar-benar keadaan kikinian yang tengah di hadapi oleh peserta didik dan tenaga pendidik kita dalam masa pandemi Covid-19 dalam melaksanakan proses pemberian pembelajaran.

Sekolah yang harus telah bisa dikoordinasikan untuk di buka berdasrkan pemetaan wilayah di biarkan mengikuti kebijakan pusat bawah tidak boleh dulu untuk di buka.

Padahal sekolah-sekolah yang awalnya menyelenggarakan digitalisasi pembelajarn kini hosa, lesu bahkan sakit dalam melaksanakan proses pembelajan yang dirancang laring dan luring (online/ofline).

Sentralistik pendidikan saat pendemi Covid-19 disini ialah kita menyelenggarakan pendidikan harus berdasarkan kebutuhan kekinian. Yang mana kebutuhan pendidik dan peserta didik hari ini ialah sekolah harus di buka seluas-luasnya dengan menerapkan anjuran yang pemerintah dengan mematuhi segala prokes.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus arif dan bijaksana dalam pembukaan sekolah di masa semester baru kedepan.  Diikuti dengan kepala sekolah dan komite sekolah duduk dan membicarakan pembukaan sekolah lagi.

Hal ini harus dilakukan demi kebutuhan ilmu pengetahuan anak-anak didik untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional, karena dengan dibukanya sekolah guru dapat merevolusi kembali nilai-nilai pekerti yang telah 2 tahun ini mengalami keredupan (**)