Teritip adalah hewan dari kelompok udang-udangan (crustasea) yang sering dianggap sebagai anggota kelompok kerang-kerangan (mollusca), karena memiliki cangkang yang keras.

Dalam tahap larva, teritip hidup bebas di perairan laut dan pada tahap dewasa menjadi organisme sesil yang menempel di berbagai permukaan keras dan menetap disana sesisa hidupnya. Di perairan dangkal teritip banyak ditemukan menempel di bebatuan, tiang-tiang dermaga, atau badan kapal.

“Karena menempel di tempat-tempat yang tidak diinginkan, teritip paling terkenal sebagai biofouling. Tetapi kegunaan dari teritip itu sendiri banyak dan banyak orang yang tidak tahu, karena itulah penting penelitian di bidang teritip itu sendiri. Dan data teritip di Indonesia belum ada sama sekali.” ujar Pipit Pitriana dikutip dari dw.com.

Sejak tahun 2012 Pusat Keanekaragaman Hayati Museum Ilmu Alam Berlin atau Zentrum für integrative Biodiversitätsentdeckung bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk meneliti keangekaragaman hayati di seluruh Indonesia dengan tujuan mencari kemungkinan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya hayati secara berkelanjutan.

Disini penelitian Pipit Pitriana berfokus terhadap taksonomi integratif dan sistematik teritip di Kepualaun Maluku yang merupakan salah satu hotspot biodiversitas dunia.

Dalam menyusun taksonomi integratif dan sistematik teritip, Pipit memulai penelitian dengan melakukan observasi detil terhadap morfologi teritip yang terdiri dari cangkang dan bagian tubuh lunak seperti umbai dan bentuk mulut, yang merupakan karakter kunci dalam menentukan jenis teritip.

Observasi ini dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop stereo. Tidak seperti dalam ilmu taksonomi tradisional, taksonomi integratif juga melibatkan analisis molekular DNA untuk membentuk filogeni atau pohon kekerabatan.

“Analisa DNA berguna karena karena selain mengetahui kekerabatan dari jenis-jenis teritip itu sendiri, kita juga bisa mengetahui asal muasal teritip itu sendiri. Misalnya spesies tertentu hanya ada di suatu daerah, maka itu bisa menjadi dasar agar daerah itu dijadikan daerah konservasi atau daerah yang wajib dilindungi oleh pemerintah,” ujar Pipit Pitriana.

Dari 2000 sampel dari Kepulauan Maluku yang diteliti Pipit sejak awal tahun 2018, sampai sekarang sudah ditemukan lebih dari 100 jenis teritip berbeda, seperti Yamaguchiella coerulescens, Chthamalus moro dan Lepas anserifera.

23 diantara jenis yang sudah ditemukan adalah spesies yang baru pertama kali tercatat di Kepulauan Maluku.  Penelitian taksonomi yang merupakan dasar ilmu biologi ini juga bertujuan untuk memberi manfaat bagi sektor-sektor lain seperti industri, teknik dan kedokteran.