BERITABETA.COM – Doktor Yusril Ihza Mahendra pernah disemprot. Saat menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Kabinet Gotong-Royong, Yusril  “mengeluhkan” persoalan yang sangat sensitif: minimnya gaji seorang menteri. “Gaji 19 juta perak itu tak berarti apa-apa,” ujar Yusril kala itu.

Seperti mendapat umpan lambung, pernyataan kontroversial Yusril langsung disambut para politikus. Prof. J.E. Sahetapy, yang saat itu menjabat sebagai  anggota Komisi II DPR, yang membawahkan bidang hukum, langsung angkat bicara.

Sahetapy menilai Yusril tak pantas mengeluhkan soal gajinya. Sahetapy menuding Yusril terlalu menghamburkan gaji untuk kepentingan Partai Bulan Bintang partai yang menjadi kendaraan politiknya. Kalau tak cocok dengan gaji, “Yusril sebaiknya mundur dari kabinet,” ujar Sahetapy, lantang.

Itulah seorang Sahetapy. Daya kritisnya sangat tajam.  Jika anda biasa menonton acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne anda mungkin biasa melihat Profesor J.E Sahetapy tampil memberikan pendapat dan juga kritikannya terhadap berbagai kasus atau isu-isu hukum dan politik di acara tersebut.

Beliau bernama lengkap Jacob Elfinus Sahetapy atau yang lebih dikenal sebagai J.E Sahetapy adalah guru besar ilmu hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Sahetapy lahir pada 6 Juni 1932 di Saparua, Maluku. Ia lahir dari pasangan guru, ia menyelesaikan SMA di Surabaya.

Guru Besar Emeritus Unair ini pantas digelari seorang penjaga nurani hukum dan politik. Ketua Komisi Hukum Nasional RI bernama lengkap Jacob Elfinus Sahetapy, ini sangat prihatin pada komitmen dan integritas para penegak hukum. Dalam dunia politik, anggota DPR dari PDIP ini pun mengatakan politik tanpa moral dan fatsoen atau etika akan menjerumuskan bangsa ini.

Menurut Doktor Ilmu Hukum Unair, Surabaya, 1978, ini, bilamana melihat situasi dan kondisi Indonesia masa kini, sudah ibarat “Rumah Sakit Gila” yang dihuni sebagian orang yang sudah “gila dan setengah gila” (gila kekuasaan, KKN, pangkat, dan jabatan) serta tidak bermoral dan tidak lagi memiliki integritas.

Kesederhanaan, kejujuran dan keteladanannya membuat apa yang dikatakannya menjadi lebih bernilai dan berbobot serta rasa kebenarannya menjadi sangat nyata. Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy, SH, MA, ini lahir di Saparua, Maluku, 6 Juni 1932. Ayahnya seorang guru dan ibunya seorang guru juga.

Tapi ketika masih kecil, Sahetapy sudah harus menghadapi masalah pelik. Kedua orang tua yang dicintainya harus berpisah. Pasalnya, ayahnya suka main judi, ibunya minta cerai akibat tidak tahan menanggung beban. Kemudian sang ibu, Nona C.A. Tomasowa, menikah lagi dengan W.A. Lokollo setelah berpisah ± 12 tahun dengan suaminya.

Namun demikian, Sahetapy kecil selalu rajin belajar. Ia memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar yang didirikan ibunya sendiri yakni Particuliere Saparuasche School. Dari ibunya yang sekaligus gurunya itulah Sahetapy banyak belajar nasionalisme dan keberpihakan kepada rakyat kecil.

Tapi akibat meletusnya perang pada tahun 1942, sekolahnya sempat terputus menjelang akhir kelulusannya. Empat tahun berikutnya, 1947, barulah ia kembali ke sekolah sampai lulus Sekolah Dasar. Lalu ia pun masuk SM dengan kurikulum 4 tahun. Menjelang lulus, peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan) meledak. Akhirnya Sahetapy pindah ke Surabaya, bergabung dengan kakaknya, A.J. Tuhusula-Sahetapy. Di kota Pahlawan itulah ia menamatkan SMA.

Setamat SMA, sebenarnya ia tertarik masuk Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Namun ibunya tidak sependapat. Selain itu, ada pula yang menawarinya masuk sekolah pendeta, tapi ibu pun tidak setuju. Akhirnya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya (yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Airlangga).

Semasa kuliah, Sahetapy termasuk mahasiswa yang cerdas. Ia juga menguasai bahasa Belanda. Tak heran bila kemudian ia dipercaya menjadi asisten dosen untuk matakuliah hukum perdata di fakultasnya. Kepercayaan dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga ketika itu Profesor Gondo-wardoyo, tidak hanya sampai di situ. Bahkan begitu Sahetapy lulus kuliah, ia ditawari kuliah di Amerika Serikat. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Ia pun menyelesaikan studinya di AS dalam dua tahun dan segera balik ke Indonesia.

Namun celakanya, setelah ia tiba di tanah air, Sahetapy harus menerima tuduhan konyol. Ia diisukan sebagai mata-mata Amerika oleh kelompok kiri kala itu yang dimotori oleh PKI. Sampai-sampai ia tak diperbolehkan mengajar. Lalu setelah PKI tumbang, ia juga tidak langsung boleh aktif mengajar. Sebab ada pula isyu lain yang menyudutkannya, sehingga Sahetapy harus tabah “menganggur” meski resminya ia adalah dosen FH Unair. Kondisi ini tidak membuatnya frustrasi. Bahkan semakin menempa semangatnya untuk membela rakyat kecil.

Buah dari kegigihan dan ketulusannya, beberapa lama kemudian ia diperbolehkan mengajar kembali. Sampai kemudian pada tahun 1979, Sahetapy terpilih menjadi Dekan Fakultas Hukum Unair.

Buku Prof. J.E. Sahetapy

Di samping menjadi dosen, doktor yang menulis disertasi berjudul “Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana” ini sempat juga menjadi birokrat. Ia pernah menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) Provinsi Jawa Timur dan sempat pula menjadi asisten Gubernur Mohammad Noor.

Suami Lestari Rahayu ini dikenal sangat kritis. Baik semasa berprofesi dosen dan birokrat maupun saat menjadi anggota legislatif. Kritik-kritiknya tajam dan keras. Ia pun dikenal sebagai seorang yang sungguh bersahaja dalam hidup sehari-harinya.

Ia tinggal di sebuah rumah di kompleks perumahan dosen Universitas Airlangga, Jalan Darmahusada III. Rumah itu sendiri jauh dari kesan mewah. Perabotannya biasa saja. Misalnya, sofa di ruang tamunya bukanlah dari jenis sofa berharga ratusan ribu rupiah. Sehari-hari, untuk mendukung kegiatannya, ia mengendarai mobil Kijang.

Kesederhanaan ini tidak berobah saat ia menjadi anggota DPR dari PDIP pada zaman reformasi yang masih kental praktek korupsi ini. Saat beberapa rekannya, setelah menjadi anggota DPR, tiba-tiba menjadi mewah dengan mobil-mobil mewah. Sahetapy justru masih kerap jalan kaki dari tempat tinggalnya, sekitar satu setengah kilometer dari Gedung DPR.

Waktu itu, ia memang tinggal di tempat kerabatnya, dan mengaku tidak ada taksi yang lewat di lingkungan tersebut. Itu membuatnya harus jalan sekitar lima ratus meter sebelum bisa menemukan taksi. Tapi, karena jarak ke Gedung DPR makin dekat, tidak ada taksi yang bersedia mengantarnya. Jadi, ya, terpaksalah berayun tungkai.

Jelas saja, berjalan kaki di Jakarta yang terik membuatnya berkeringat. Karena itu setiap hari ia memakai kaos, baru setelah sampai di ruang kerjanya ganti baju yang dibawanya. Ia juga tergolong orang Indonesia yang tidak suka memakai jas. Ia pun tidak termasuk anggota DPR yang memikirkan soal tunjangan mobil, sehingga dari semua perilaku dan sikapnya, banyak pihak menjulukinya penjaga nurani hukum dan politik.

Bapak tiga anak dan satu anak angkat ini memang seorang tokoh yang masih memiliki integritas nurani dalam penegakan hukum dan kebenaran. Hal ini terlihat dari sikapnya sehari-hari. Sikap nurani yang kritis itu tercermin juga ketika ia mengajukan pertanyaan kepada para calon hakim agung di DPR. Ia bertanya kepada Benjamin Mangkudilaga, seorang yang cukup populer sebagai hakim yang jujur dan sederhana, tentang hadiah rumah yang diterima Benjamin. Tidakkah itu menimbulkan konflik kepentingan? ”

Profesor Sahetapy, yang sudah 40 tahun menjadi dosen di Fakultas Hukum Unair, tampaknya memang tidak bisa tedeng aling-aling. Seorang calon hakim dari Gorontalo mengaku sebagai salah seorang muridnya. Entah apa maksud sang calon, yang kemudian diterimanya adalah semprotan kata-kata yang keras: “Ya, memang. Tapi saya malu punya murid seperti Anda, karena menjawab pertanyaan apakah pernah masuk parpol, tidak mengaku. Ternyata dalam CV, Anda pernah aktif di Golkar.” Itulah Sahetapy yang tidak pernah ragu menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.

Fatsoen Politik

Bicara soal moral dan sopan santun politik, ia mengutip Charles Krauthammer: “Alliance with hell is justified as long as it is temporary.” Diuraikannya, pada zaman otokratisnya Soeharto, yang tampaknya semua serba teratur dan seolah-olah ada kedamaian, politisi dan birokrat sesungguhnya hanyalah pion-pion belaka, yang dikendalikan melalui ancaman terselubung. Dengan perkataan lain, politisi seperti memiliki moral dan fatsoen politik. Semua yang dikerjakan Soeharto disambut dengan gembira dan sukacita, seperti tidak ada reserve terhadap setiap sabda pemimpin yang selalu tersenyum itu.

Anggota Komisi II (Hukum dan Dalam Negeri) dari Fraksi PDIP DPR RI, ini menggarisbawahi apa yang dikatakan Stalin: “Those who cast the votes decide nothing. Those who count the votes decide everything.” Tetapi, katanya, hukum alam memutuskan tidak ada yang abadi.

Begitu Soeharto dilengserkan oleh para mahasiswa dan ditusuk dari belakang oleh para pembantu dekatnya, yang ternyata berwatak Brutus, tiba-tiba semua berubah. Seperti terjadi iklim pancaroba politik reformasi. Semua simpul terlepas, semua seperti dibebaskan, dan itulah yang diperkirakan dengan nama demokrasi.

Reformasi diucapkan di tiap bibir insan Indonesia menurut selera masing-masing. Terlihat betapa banyak “Dr Jekyll and Mr Hyde”, juga mereka yang mendapat remah-remah KKN untuk diperalat di zaman Soeharto.

Moralitas dan fatsoen atau sopan santun politik hilang tak berbekas seperti disambar kilat. Orasi-orasi gombal di zaman pemilu dijilat kembali, dan dengan rekayasa yang tidak bermoral dan tanpa sopan santun politik, semua kaidah demokrasi dijungkirbalikkan. Dan ketika titik-titik api terselubung dapat kesempatan disiram bensin dengan berbagai isu akhir-akhir ini, politikus bermoral picisan dan seperti tidak tahu abc sopan santun menggerakkan massa -dan itu boleh-boleh saja, tetapi kemudian dialihkan dan diarahkan, seolah-olah tidak dikenal adanya amendemen UUD 1945.

Orang acap kali bertanya dan mengharapkan kapan semua itu berakhir. Apakah politikus picisan yang seolah-olah tidak bermoral dan apakah negarawan-negarawan yang sok bermoral, masih mau ikut terus menipu rakyat. Itulah sebabnya Anonymous pernah menulis bahwa “Politicians are like diapers. They should both be changed frequently and for the same reason.” Memang, apa yang mau diharapkan dari moralitas politisi, kalau sewaktu bersekolah di SMA dikenal sebagai jago nyontek. Orang sering lupa bahwa nyontek adalah embrio dari KKN.

Rumah Sakit Gila

Menurut mantan Guru Besar Tamu di Fakultas Hukum Leiden, Belanda dan Universitas Katholik Leuven, Belgia, ini bilamana melihat situasi dan kondisi Indonesia di masa kini, tidaklah berkelebihan kalau dikatakan -tanpa menjadi kasar dan tidak bermaksud melecehkan-, bahwa negara kita ini ibarat “Rumah Sakit Gila” yang dihuni sebagian orang yang sudah “gila” (gila kekuasaan, KKN, pangkat, dan jabatan). Sebagian penghuni sudah setengah “gila” karena keinginan, ambisi yang ambisius tidak tercapai sehingga berperilaku dan berpikir yang tidak lagi rasional.

Mantan Ketua Asosiasi Kriminologi Indonesia mengatakan ada pula penghuni yang mengalami “depresi” dan sudah pada tahap fatalistik, karena bingung melihat gejolaknya kejahatan yang sadistik, KKN ibarat kanker yang tengah merajalela dengan ganas.

Sebagian penghuni lain seperti sudah kehilangan akal, karena melihat orang-orang yang begitu tekun menjalankan ibadah agamanya, tetapi kalau diamati dengan cermat seperti orang-orang ateis yang tidak berperikemanusiaan, yang amoral, tetapi justru mereka berdalih sebagai penyelamat dunia ini.

Yang paling besar jumlahnya ingin berteriak tetapi apa daya seperti tidak berkekuatan karena perut mereka terus keroncongan. Tetapi, mereka yang di akar rumput ini “have nothing to loose” kalau dihasut untuk menjadi radikal dan bersedia mati untuk suatu kausa yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Robert M Pirsing Zen pernah menulis, “When people are fanatically dedicated to political or religious faiths or any other kinds of dogmas or goals, it’s always because these dogmas or goals are in doubt”.

“Rumah Sakit Gila” itu terus diawasi oleh kekuatan besar yang telanjang. Dan Sang Raja, seperti dituturkan di dunia Barat, berkuda keliling tanpa busana, dan semua kawula tunduk dengan perasaan malu dan gemas. Raja mengira mereka menghormatinya, padahal mereka tunduk karena tidak sanggup melihat ketelanjangannya.

Sejak memasuki Orde Baru, masyarakat Indonesia digiring ke suatu subkultur tertentu dan dibina untuk menjadi manusia munafik, tetapi ganas dalam berambisi atau sangat ambisius. Manusia Indonesia menjadi manusia yang ingin cepat kaya tanpa bekerja keras. Rasa malunya seperti sudah dimatikan. Orang dilatih untuk selain menjadi panutan dan tidak boleh berpikiran lain. Otak mereka dicuci secara halus. Kultur retorika yang kosong dan wacana pagi tempe dan sore tahu, tidak ada yang berani menegur, sebab bersikap kritis dianggap pembangkangan yang harus di-Siberia-kan atau di-Pulau Buru-kan.

Petualang-petualang politik dengan dana yang tidak jelas asal-usulnya, berseliweran di Senayan dan banyak yang berdasi KKN tanpa rasa malu. Politikus muda yang dulu di SMA jago nyontek, kini bicara ibarat dialah malaikat yang turun dari surga. Mereka yang dulu menentang status seks tertentu, kini berbusung dada menghendaki agar perempuan diikutsertakan di gelanggang kemunafikan.

Pada mulanya mereka menentang berdasarkan dogma. Tidaklah mengherankan kalau pada permulaan reformasi manusia-manusia yang tidak berhati nurani itu bisa merekayasa, agar pahlawan peringkat di bawah bisa diusung ke atas, dan kemudian menjadi Sang Raja. Tetapi dasar serigala berbulu domba, manusia-manusia berwatak Brutus itu dengan penampilan Pontius Pilatus, menjatuhkan Rajanya sendiri.

Dan mereka itu dengan sadar atau pura-pura tidak mengerti, bahwa amendemen konstitusi telah mencabut gigi-gigi yang ingin menghadirkan Sidang Istimewa MPR untuk melicinkan dan menyukseskan ambisi-ambisi gelap dengan berpencak silat. Ini tampak ketika orang ribut bertalian dengan kenaikan dan kesulitan hajat hidup orang banyak. Dan Raja, seperti atau seolah-olah, tidak atau kurang berempati, apakah mendengar atau tidak jeritan, tangis dan kemarahan rakyat dan para calon intelektual yang bertindak acapkali dengan kurang sopan.

Cuci Tangan

Ketua Umum Forum Pengkajian HAM dan Demokrasi Indonesia, ini mengemukakan kekurangdengaran atau “telmi” mungkin seperti kata orang Belanda, yaitu: “te diep in het glaasje gekeken”, alias minum anggur terlalu banyak pada pesta akhir tahun. Retorika dan realisme tidak lagi bersalaman dan berpelukan, sebab gelombang berpikiran antara Senayan dan Medan Merdeka seperti sudah mengalami “kortsluiting”. Dan seperti Pontius Pilatus, banyak yang main cuci tangan agar bersih di mata rakyat yang tidak dapat lagi dikibulin.

Kapan sandiwara Petruk ini berakhir, tidak ada yang dapat meramal kecuali paranormal yang bermain silat dengan kata-kata yang “dibius” dan yang sampai sekarang selalu gagal dengan ramalan mereka. Dan yang sangat mengherankan, juga beberapa kaum terpelajar masih tetap percaya kepada Sang Ratu Adil yang tidak kunjung tiba, entah dari mana asalnya.

Lalu ia teringat pada apa yang dikatakan oleh Franklin Roosevelt tentang seorang diktator, “He may be a son of a bitch. But he is our son of a bitch”. Politisi yang senang berbohong asal tidak tertangkap basah, para negarawan yang tidak berhati dermawan, dan para birokrat yang senang ber-KKN, kiranya sadar bahwa sudah waktunya ada moral dan fatsoen (sopan santun) dalam berpolitik.

Ia berharap semoga para politisi bermoral dan santun meskipun dalam jumlah kecil dewasa ini, tetap terpanggil akan gejolak hati nuraninya. Semua hendaknya benar-benar sadar, seperti dikatakan Mahatma Gandhi, “The things that will destroy us are: politics without principle, pleasure without conscience, wealth without work, knowledge without character, business without morality, science without humanity, and worship without sacrifice”. Tidaklah berkelebihan kalau dikatakan lagi bahwa politik tanpa moral dan fatsoen atau etika akan menjerumuskan bangsa ini. (*)

Pewarta : dhino pattisahusiwa

Disadur dari berbagai sumber