Ia menambahkan, ASN yang tidak mempunyai kompetensi dan tidak lolos berbagai peningkatan pendidikan serta profesionalisme dapat bekerja dari rumah. Namun statusnya tetap ASN, karena ASN tak mengenal sistem pemangkasan ataupun pemutusan hubungan kerja [PHK].

"Sesuai kebutuhan dan kemampuan. Sementara eselon I dan eselon II sebagai leader-nya menggerakkan dan mengorganisasi pegawai fungsional yang ada," ungkap Tjahjo.

"Pemangkasan ya tidak mungkin, pensiun dini juga perlu proses. ASN kan tidak mengenal PHK," lanjutnya.

Sebelumnya, pada sebuah acara yang ditayangkan secara daring Minggu (20/12) lalu, Tjahjo mengatakan, saat ini ada ada 4,2 juta ASN di Indonesia.

Dari angka itu, 1,6 juta di antaranya merupakan tenaga pelaksana, yang perlu dilakukan penataan untuk meningkatkan kompetensi mereka.

"Kan enggak mungkin tenaga pelaksana itu langsung seperti (di) BUMN dipensiunkan, dipesangon," ucap Tjahjo saat itu.

Ia menerangkan, untuk memangkas birokrasi, ASN yang bekerja di kantor hanya merupakan eselon 1 dan 2. Nantinya, ASN tersebut akan bertugas untuk memimpin dan mengorganisir percepatan perizinan dan pelayanan publik.

Oleh karena disebutkan Tjahjo Kumolo setidaknya ada 1,6 juta ASN yang perlu ditata, maka dipilihlah salah satu upaya penataan ASN tenaga pelaksana tersebut dengan mengalihkan pada tenaga pendidikan.

Pasalnya, jumlah tenaga pelaksana yang besar tersebut tidak dapat langsung dipangkas oleh pemerintah dengan memberikan pesangon.

Hal itu karena dinilai akan membutuhkan anggaran yang besar.

"Nanti pak Sekjen Kementerian Keuangan akan pusing kalau seandainya 1,6 juta ASN itu harus dapat pesangon semuanya," ungkap Tjahjo.

Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara saat ini, terdapat 1,56 juta tenaga pelaksana. Angka tersebut merupakan 38 persen dari total jumlah ASN 4,08 juta orang (*)

Editor : Redaksi