DI dalam politik ‘everything is possible’. Maka tidak hera jika Niccoló Machiavelli membabtis politik dengan doktrin “aforisma”, tujuan menghalalkan segala cara. Sebab itu, politik dikenal sebagai seni.

Seni mencari dan menemukan kemungkinan dan menangkap alternatif.  Dalam politik (praktis), apa yang sering dianggap “tabu” justru memainkan peran sentral dalam meraih kekuasaan. Bahkan tak pelak yang ideal justru dianggap janggal dan asing. Makanya di dalam politik, para politisi dan politikus yang jujur dan memiliki kualifikasi moral yang mumpuni sering tak berhasil meraih kursi kekuasaan.

Alasannya, politik adalah ruang yang didominasi oleh kerajaan-kerajaan tujuan dengan aneka kepentingannya. Disebut demikian karena tujuan-tujuan dalam politik bukan hanya semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan umum dan menata masyarakat supaya menjadi lebih baik, melainkan lebih dari itu politik juga senantiasa digerogoti oleh aneka tujuan yang tersembunyi dan bersifat pribadi serta pragmatis.

Ranah politik praktis memang kadang susah dibaca. Mengapa? Sangat boleh jadi politik praktis didominasi oleh aktor-aktor bawah tanah. Aksi-aksi yang muncul di permukaan seringkali hanyalah bayang-bayang yang menghalau atensi para pengamat politik serentak memanipulasi taktik para lawan politik.

Teori ini mungkin ada benarnya. Narasi tentang prilaku politikus itu terbangun karena mengambil kondisi secara umum. Namun, tidak pula semua politisi dapat  dicap memiliki karekter demikian.

Satu yang tampak terlihat mungkin yang kini dilakukan bakal calon kepala daerah di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini. Dialah Rohani Vanath (RV) yang digadang melalui jalur perseorang (independent).

Sepintas, bagi orang yang cenderung melihat tingkah Rohani Vanath dari sisi politik, pastinya penilaian yang terbagun adalah, semua tindakan yang dilakukan adalah sebuah pencitraan dari sebuah ambisi.

Pendapat ini memang tidak ada salahnya dan sukar untuk dibantah, namun bila dilihat dengan kacamata sosial, maka penilain itu pudar, sebab tidak semua politisi atau orang yang berada di ranah politik merehlakan diri untuk melakukan hal-hal yang terlihat seperti ‘dipaksa’.

Rohani Vanath, kerap terlihat agak tulus melakukan segalanya,meski kemunculannya karena disokong oleh salah satu tokoh politik lokal ternama Abdullah Vanath yang tak lain suaminya, namun tampilannya sangat berbeda dengan politisi kebanyakan.

Ia tidak tampil begitu saja dalam ruang-ruang publik, konsep blusukan yang dijalankan juga bukan dilakukan tanpa sebab. Pastinya, ada agenda-agenda dadakan yang kemudian terkonfirmasi dengannya,  sehingga membuat ibu 6 anak ini mengambil bagian pada event-event tersebut.

Paling tidak ini pertanda baik, meski ada tujuan politik yang menjadi sasaran utamanya, namun aksi yang dilakukan Rohani Vanath, boleh disebut hanya pernah dilakukan beberapa politisi ternama saja.

Ini tak lain karena ada naluri keibuan dan emosi seorang perempuan yang melekat pada dirinya. Beberapa sikap ini juga ditemukan pada sederet pemimpin perempuan di Indonesia, misalnya Walikota Surabaya Tri Rismaharini (Bu Risma) yang kerap membersikan selokan saat turun ke lapangan.

Pendeknya, ‘sense of belonging‘ (rasa memiliki) yang melekat pada sosoknya membuatnya selalu melihat sisi politik bukan semata politik, tapi juga  dipenuhi rasa memiliki dan rasa sosial.

Tanggal 9 Desember 2020, tengah malam sikap positif ini terkonfirmasi. Rohani dengan segala kekurangannya, tampil diapit suaminya Abdullah Vanath bersama semua tim susksenya.

Ia mengaku kalah. Dan meminta semua pendukungnya untuk menerima kekalahan itu. Dengan tetap sumringah di depan kamera, Rohani menyebut pertarungan telah berakhir dan memberi atensi dan support bagi semua tim sukses dan pedukungnya.

“Kalian hebat, kalian luar biasa. Tetap jaga persaudaraan kita, sampaikan untuk semua pendukung kita telah berjuang keras dan hasilnya belum sesuai dengan harapan kita semua,” ungkapnya dengan berbesar hati.

Sikap Rohani Vanath, boleh dikata hanya ada pada sebagian kecil politisi kita. Nekat bertarung di ajang penuh dinamika dan persaingan, tapi sadar akan posisi di akhir pertarungan. Setidaknya, sikap legowo Rohani bersama pendampingnya Ramli Mahu, patut mendapat reward dari publik di SBT.

Sikap yang tidak terbayangkan sebelumnya, jika melihat dinamika politik jelang Pilkada SBT yang memiliki tensi yang cukup tinggi baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Hanya satu pesan berliant yang keluar dari mulut Rohani Vanath dan mungkin dapat dijadikan sebagai pegangan bagi politisi di daerah ini.

“Kita telah membuat sejarah di Pilkada Serentak 2020 ini dengan tampil di jalur perseorangan,” ucapnya.

Ternyata Rohani telah menunjukan kelasnya, bahwa ‘happy ending’ dari sebuah pertarungan politik bukan hanya kemenangan tapi juga kerelaan menerima kekalahan itu. Inilah politik ‘everything is possible’ (semua kemungkinan bisa terjadi) (***)