Oleh: Engelina Pattiasina (Direktur Archipelago Solidarity Foundation)

PENULARAN corona virus (Covid-19) pada  saat ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan pandemi Influenza Spanyol yang terjadi sekitar satu abad silam, tahun 1918-1920. Setidaknya, jutaan orang terpapar di seluruh dunia dan menyebabkan korban jiwa yang tidak sedikit.

Indonesia yang ketika itu dikenal sebagai Hindia Belanda, juga tidak luput dari Flu Spanyol dan menimbulkan korban jiwa yang sangat besar, terutama di Pulau Jawa.

Penyebab Flu Spanyol ini dideteksi di Hindia Belanda pada November 1918 dan segera menyebar di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan hampir di semua wilayah Hindia Belanda. Namun, sebelum November 1918, sebenarnya sudah ada kasus kematian yang tidak wajar di Jawa Tengah.

Ketika itu, pemerintah kolonial menjelaskan, ada tiga penyebab kematian itu, yakni Flu Spanyol dengan komplikasi penyakit paru-paru, kolera dan malaria.

Namun, ada yang terlewatkan, karena pada tahun 1918, Pulau Jawa dilanda krisis pangan yang luar biasa. Hanya saja, tak diketahui apakah krisis pangan ini berkaitan dengan serangan Flu Spanyol ataukah peristiwa yang kebetulan bersamaan.

Krisis pangan (kelaparan) di Jawa ini menyebabkan, pemerintah Belanda melarang pengiriman singkong dari Sunda ke luar pulau pada Oktober 1918, karena memang situasi darurat pangan yang terjadi hampir di seluruh Pulau Jawa.

Selain itu, De Locomotief  edisi 19 Februari 1919, memberitakan kalau pada Desember 1918, Belanda juga melarang ekspor sagu dari Maluku ke luar Hindia Belanda, guna memastikan pasokan sagu ke Pulau Jawa.

Pengiriman sagu dari Ambon dan Ternate dimulai pada Januari 1919. Pasokan sagu juga berasal dari Riau, sedangkan tepung terigu diupayakan dari Australia.

Dari pemberitaan media kala itu, sagu Maluku bersumber dari Pulau Seram dan Halmahera. Namun, pemerintah kolonial mengalami kendala dalam upaya menyediakan tepung sagu, karena pohon sagu harus diproses. Kendala ini bisa diatasi atas jasa orang Alifuru yang terampil mengolah sagu.

Pilihan terhadap sagu untuk membantu kelaparan di Pulau Jawa bukan tanpa alasan, karena Belanda mengetahui kandungan gizi sagu tidak berbeda dengan beras. Mungkin saja, kalau ada penelitian mutakhir dewasa ini, bukan tidak mungkin sagu memiliki kandungan gizi yang lebih baik.

Arti penting sagu pada masa krisis pangan di Jawa pada masa Flu Spanyol itu digambarkan cukup lengkap dalam sebuah artikel di De Locomotief di Februari 1919 yang berjudul, “Sago voor Java”. Hanya saja, artikel yang ditulis koresponden di Ternate ini tidak menyertakan nama penulisnya.

Kalau ditarik lebih jauh sebelum krisis pangan di Jawa, sagu dari Maluku ini sudah diolah pabrik sagu milik Belanda pada abad ke-18. Tapi, kualitas sagu yang diolah di Maluku masih kalah dari sisi kualitas dengan sagu yang diolah di Singapore. Hampir pasti, sagu di Singapore ini berasal dari Riau, Aceh dan Maluku, tapi diolah menjadi tepung sagu dengan kualitas yang lebih baik di Singapore.

Dengan peristiwa yang luput dari amatan ini, sebenarnya memberikan satu kesadaran, kalau Kepualauan Maluku dan Papua dengan  kekayaan sagunya sebenarnya menjadi jaminan akan ketersediaan pangan di masa krisis. Sebab, sagu memiliki daya tahan yang relatif lama sebelum dikonsumsi.

Untuk itu, kasus Covid-19 yang melanda dunia ini, sebenarnya menjadi momentum bagi Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan daerah lainnya untuk mengembalikan sagu sebagai syarat untuk memastikan kedaulatan pangan lokal.

Dalam konteks Maluku, sagu merupakan makanan pokok yang sama dengan beras atau jagung di daerah lain yang terjadi sejak turun-temurun. Namun, pada 1950-an, pemerintah pusat memperkenalkan bercocok tanam padi bagi orang Maluku.

Setidaknya, pada tahun 1954, persiapan irigasi dan lahan di Pulau Seram dan Pulau Buru sedang dimulai. Satu tahun berselang, 1955, persawahan di Pulau Seram resmi diolah oleh transmigran dari luar Pulau Seram. Hal ini juga menjadi sejarah baru bagi orang Maluku, sehingga tidak heran kalau orang Maluku akan kesulitan untuk mengolah sawah, karena memang tidak memiliki kultur seperti itu.

Tapi, pemerintahan orde baru mengambil kebijakan yang fatal, karena secara sadar atau tidak menjadikan beras sebagai pangan pokok, sehingga sampai saat ini, beras menjadi makanan pokok, meski tidak memiliki tradisi bercocok tanam padi. Pembagian jatah beras bulanan bagi pegawai negara setidaknya menjadi contoh “nasionalisasi” beras sebagai makanan pokok di Indonesia.

Kebijakan ini menjadi pisau bermata ganda, karena di satu sisi kebiasaan makan nasi ini menjadi beban tersendiri bagi negara karena harus memastikan pasokan beras selalu terjaga. Hal ini dilakukan bukan dengan memacu produksi padi dalam negeri, tapi bergantung kepada beras impor. Sementara di saat bersamaan, pangan lokal sagu, umbi-umbian, kacang dan jagung menjadi makin tersisih.

Kini, tantangan terberat untuk mengembalikan kejayaan pangan lokal bukan perkara mudah, karena ini sudah berkaitan dengan pola dan gaya hidup. Misalnya, untuk mengembalikan hutan sagu di Maluku, bukan sekadar mengembalikan kebiasaan masyarakat dalam menyajikan makanan, tetapi membutuhkan satu tekad dan komitmen dari pemerintah di berbagai level.

Keberpihakan di sini menjadi kunci, karena ketergantungan kepada beras sudah demikian besar dan akan terus bertambah seiring dengan penambahan jumlah penduduk. Karena pada tahun 2012, dalam Kajian Ekonomi Regional Provinsi Maluku Triwulan I-2012, kebutuhan beras Maluku sekitar 122.512 ton/tahun. Dimana 60 persen kebutuhan beras dipasok dari luar Maluku.

Dalam kajian ini, survei yang dilakukan membuktikan beras telah menjadi makanan pokok, karena 89% responden menjadikan beras sebagai makanan dan hanya 11 persen yang menjadikan pangan lokal sebagai makanan pokok.

Secara nasional, Presiden Joko Widodo, dalam sidang kabinet pada 28 April 2020,  mengungkapkan ada tujuh provinsi yang mengalami defisit beras dan 11 provinsi defisit jagung. Hal ini sebenarnya sudah dapat diperkirakan, karena Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, baik luas panen, produksi GKG dan produksi beras secara nasional mengalami penurun.

Hal yang sama juga terjadi Maluku, dari luas lahan padi 18.283 hektar tahun 2019, menghasilkan produksi GKG 98,3 ton pada 2019 atau turun kalau dibandingkan panen GKG tahun 2018 sebanyak 116,2.

Persoalan pangan ini akan senantiasa menjadi tantangan dari masa ke masa, jika tidak ada kebijakan pangan yang fokus dan komitmen yang kuat untuk mencapai kedaulatan pangan.  Kedaulatan pangan hanya mungkin terjadi jika sudah terjadi kedaulatan pangan lokal, sesuai dengan potensi dan tradisi secara turun-temurun. Setiap daerah memiliki corak dan ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan pangan sejak lama.

Hanya potensi pangan lokal itu semakin terkikis karena ada upaya yang sengaja atau tidak telah menjadikan beras sebagai makanan pokok secara nasional. Akibatnya, pemenuhan beras dilakukan dengan impor, karena daerah yang semula tidak menjadikan beras sebagai makanan pokok telah bergeser ke beras. Tanpa disadari pangan lokal kehilangan pamor sebagai makanan pokok. Jadi, jangan heran, meski masih ada persediaan umbi-umbian, jagung dan sagu, bisa saja sudah dikategorikan sebagai rawan pangan, bahasa halus dari kelaparan.

Pada Oktober 2009, sekitar 300 pakar berkumpul di Roma untuk membahas strategi cara memberi makan dunia pada tahun 2050. Forum ini digelar untuk memberikan dasar dalam penyelenggaraan KTT Dunia tentang Keamanan Pangan pada November 2009 di Roma. Food and Agriculture Organization (FAO), organisasi pangan di bawah PBB,  memperkirakan pada 2050 dibutuhkan peningkatan produksi pangan sebesar 70 persen.

Berdasarkan proyeksi PBB,  populasi dunia akan meningkat dari 6,8 miliar hari ini menjadi 9,1 miliar pada tahun 2050 – sepertiga lebih banyak mulut untuk diberi makan daripada yang ada saat ini. Hampir semua pertumbuhan populasi akan terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 70 persen populasi dunia akan hidup di kota atau daerah perkotaan pada tahun 2050, naik dari 49 persen saat ini.

Permintaan makanan diperkirakan akan terus tumbuh sebagai akibat dari pertumbuhan populasi dan peningkatan pendapatan. Begitu juga permintaan pakan ternak diproyeksikan mencapai sekitar 3 miliar ton pada tahun 2050.

Terlepas dari kenyataan bahwa 90 persen pertumbuhan dalam produksi tanaman diproyeksikan berasal dari hasil yang lebih tinggi dan intensitas tanam yang meningkat, tanah yang subur harus diperluas sekitar 120 juta hektar di negara-negara berkembang. Lahan subur yang digunakan di negara-negara maju diperkirakan akan berkurang sekitar 50 juta hektar.

Dari laporan FAO itu, persoalan pertanian ini akan dihadapkan dengan kebutuhan irigasi (air), lahan pertanian yang diperkirakan membutuhkan 120 juta lahan baru. Di saat bersamaan lahan di negara maju diperkirakan berkurang 50 juta hektar.

Belum lama ini, FAO mengeluarkan laporan mengenai ancaman krisis pangan akibat Covid-19 yang melanda dunia. Dalam laporan pada penutupan tahun 2019, 135 juta orang di 55 negara dan wilayah mengalami kerawanan pangan serius.

Selain itu, di 55 negara krisis pangan itu, ada jutaan anak yang menderi kekurangan makanan atau malnutrisi pada tahun 2019. Selain itu, FAO mengingatkan ada 183 juta orang yang terancam dalam krisis pangan atau bahkan lebih buruk.

Lebih dari setengah (73 juta) dari 135 juta orang itu tinggal di Afrika; 43 juta tinggal di Timur Tengah dan Asia; 18,5 juta tinggal di Amerika Latin dan Karibia. Penyebab utama yang mempengaruhi situasi pangan ini dipicu konflik, (77 juta orang rawan pangan akut), cuaca ekstrem (34 juta orang), dan turbulensi ekonomi (24 juta).

Nasib sagu sebagai makanan pokok orang Maluku, Papua dan sejumlah daerah di Indonesia, terutama wilayah Melanesia, juga kehilangan pamor sebagai makanan pokok. Namun, di sisi lain, dunia internasional sangat serius meneliti sagu sebagai makanan pokok yang bisa menjadi alternatif untuk menjawab persoalan pangan seperti yang dikhawatirkan badan internasional.

Bahkan, sejumlah ilmuwan dari mancanegara secara rutin melakukan pertemuan untuk membicarakan persoalan sagu secara internasional. Orang Maluku, orang Papua  sejak lama telah memiliki keahlian dalam mengolah sagu sebagai makanan secara turun-temurun. Hanya membutuhkan sentuhan teknologi untuk mengolah sagu sehingga semakin baik.

Keahlian orang Maluku dalam persoalan sagu, bukan sebatas mengolah bahan makanan, tetapi juga kearifan lokal untuk menjaga kelestarian sagu. Ilmuwan dan pemangku kepentingan perlu melirik untuk belajar dari masyarakat adat/lokal, karena kearifan warisan nenek moyang jauh lebih bijak dalam memperlakukan alam sebagai sumber pangan. Hal itu masih dapat ditemukan dalam pelaksanaan sasi dan keberadaan kewang di Maluku dan ada banyak kearifan lokal yang tetap relevan untuk saat ini dan masa depan.

Kalau dikaitkan dengan poyeksi FAO tahun 2050, dimana ada kebutuhan pangan yang sangat tinggi, karena pendapatan yang makin tinggi dan penambahan penduduk, tentu sangat menarik untuk kembali kepada kekuatan lokal Maluku. Sudah terlalu jauh pangan lokal ditinggalkan, tidak mudah untuk mengembalikan pola makan ketika orang Maluku masih mengandalkan sagu. Namun, kesadaran akan kebutuhan pangan bagi generasi mendatang, tentu sangat relevan bagi generasi saat ini untuk memastikan ketersediaan pangan.

Dalam proyeksi pangan FAO itu sebenarnya negara berkembang perlu khawatir, karena wilayah merupakan harapan bagi lahan pertanian, sementara lahan di negara maju justru semakin menyusut. Artinya, negara berkembang diharapkan menjadi pemasokan pangan bagi negara maju. Persoalan pangan akan menjadi titik krusial di masa mendatang. Kembali mengembangkan sagu dan umbi-umbian akan menjadi jalan keluar bagi pemenuhan pangan di masa datang.

Bila Maluku mengandalkan beras semata, maka hampir pasti tidak akan pernah mencapai kedaulatan pangan. Maluku tidak akan pernah memenuhi sendiri kebutuhan pangannya. Kedaulatan pangan lokal, seperti sagu, umbi-umbian, pisang dan sebagainya harus menjadi prioritas dalam pengembangan pangan lokal. Tidak ada kata terlambat untuk mengembalikan sagu dan umbi-umbian. Semoga (***)