BERITABETA.COM, Jakarta  - Beredarnya sejumlah nama yang mendominasi hasil survei calon presiden pada Pilpres 2024 membuat Anggota DPD RI Papua Barat, Filep Wamafma angkat suara.

Ia mempertanyakan setiap hasil survei  elektabilitas yang tidak menyertakan nama figure yang berasal dari ras Melanesia ataupun putra Papua, Papua  Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT.

“Sebagai Senator Papua Barat, pertanyaan saya sangat sederhana. Mengapa tidak ada nama dari ras Melanesia ataupun putra Papua, Papua  Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT dalam survei tersebut?,” ungkap Filep bertanya seperti dikutip dari tempo.com.

Menurutnya, kemunculan nama-nama yang selama ini dikenal luas menjadi tanda masih kuatnya politik identitas di Indonesia, sehingga  keinginan ras Melanesia berada dalam bursa Pilpres itu ibarat mimpi di siang bolong.

Lebih lanjut dijelaskannya bahwa Politik identitas di sini bermakna bahwa  asal-usul seorang calon presiden di Indonesia, dijaga sedemikian rupa agar  berpusat di wilayah Indonesia bagian barat.

“Mengapa dari kalangan Ras Melanesia tidaklah muncul? Padahal Ras Melanesia bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tandasnya.

Dikatakannya, Survei Litbang Kompas merilis angka elektabilitas beberapa figur politik yang diperkirakan menjadi calon presiden setelah Jokowi.

Survei  yang dilakukan sejak 26 September - 9 Oktober 2021 ini dilakukan terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, melalui wawancara tatap muka. Nama Prabowo dan Ganjar Pranowo berada di elektabilitas tertinggi yaitu 13,9%.

Di bawah kedua nama itu, ada Anies Baswedan dengan elektabilitas 9,6%, disusul Ridwan Kamil (5,1 persen), Tri Rismaharini (4,9 persen), Sandiaga  Uno (4,6 persen), Basuki Tjahaja Purnama (4,5 persen), Agus Harimurti  Yudhoyono (1,9 persen), Mahfud MD (1,2 persen), dan Gatot Nurmantyo (1,1  persen).

Nama-nama di atas merupakan nama-nama yang cukup familiar dalam  percaturan politik Indonesia. Semuanya memiliki cukup pengaruh melalui  perannya masing-masing dalam penyelenggaraan kehidupan publik. 

Dijelaskannya, jangankan survei Litbang Kompas, survei yang lain pun tidak  pernah mengambil satu nama tokoh dari penduduk Ras Melanesia.

Kata dia, sejak Papua menjadi bagian dari NKRI, tokoh-tokoh Papua memang belum  pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia.  Demikian halnya juga  Maluku dan NTT, belum pernah memimpin NKRI. Dan kini, dirinya mengharapkan agar orang dari Ras Melanesia menjadi Presiden RI. 

Entah sudah terdoktrin, hal ini secara otomatis  menghilangkan kemungkinan Ras Melanesia untuk menjadi presiden. Kedua, peran partai politik dalam membesarkan tokoh tertentu, biasanya  hanya berpusat pada tokoh-tokoh publik di wilayah Jawa.

Hal ini menyebabkan tokoh-tokoh dari Ras Melanesia hanya sebatas mensukseskan figur-figur politik yang berkiprah dan dikenal di wilayah Jawa. Ketiga, sadar atau tidak, asumsi publik di Indonesia masih meng underestimate kemampuan tokoh-tokoh dari rumpun Melanesia.

Ia menilai, dalam tataran tertentu, hal ini ikut menumbuhkan benih  diskriminasi dan rasisme. Watak rumpun Melanesia yang keras, seringkali  dianggap kurang pas sebagai pemimpin NKRI.

Di antara politik identitas itu, Ras Melanesia belum punya tokoh besar yang  mampu mempersatukan semua orang dari hulu sampai hilir, dari gunung  sampai pantai, dari hutan sampai perkotaan.

Kalaupun ada, biasanya nasib  tokoh ini tidak lama. Ketiadaan tokoh ini menyebabkan masyarakat rumpun  Melanesia hanya mampu ikut memilih saja tanpa mampu menampilkan  putra-putri terbaiknya untuk dipilih.

“Semua persoalan di atas seharusnya memberikan inspirasi bagi anak-anak  ras Ras Melanesia untuk mulai bertanya pada diri sendiri, kapankah Ras  Melanesia menjadi presiden RI?,” ujarnya.

Menurutnya, inspirasi ini memberi motivasi agar peta politik masyarakat mampu melahirkan, membesarkan, dan memberi jalan luas bagi tokoh publik dari rumpun Melanesia sehingga diakui di kancah nasional.

Sudah  saatnya ruang-ruang politik Ras Melanesia bersatu, membawa nama-nama  yang bisa bersaing di khazanah politik Indonesia. Keterpecahan politik yang  disebabkan oleh ambisi pribadi maupun kelompok, seringkali menghambat  lahirnya tokoh politik dari Ras Melanesia.

Dengan kata lain, perjuangan  politik Ras Melanesia masih sangat diaspora, menyebar tanpa koordinasi. Bila hal ini tidak dilakukan, maka sampai kapanpun Ras Melanesia tidak  bisa menjadi presiden di Indonesia. 

Dalam alur yang sama, peran media pun sangat dibutuhkan dalam  membesarkan tokoh politik dari Ras Melanesia. Bila media-media  mainstream nasional masih hanya berfokus pada publik figur di wilayah  Jawa, maka kesempatan bagi tokoh publik rumpun Melanesia semakin  meredup.

 “Jadi mau tidak mau, hanya Orang Melenesia sendirilah yang bisa  menempatkan dirinya sendiri di bentara politik Indonesia,” pungkas Filep  Wamafma. (*)

Editor : Redaksi