BERITABETA.COM, Ambon  – Anggota Fraksi PKS DPR RI, Saadiah Uluputy, ST menyatakan penolakannya terhadap rencana pemberlakuan Pajak Karbon yang akan dikenakan negara kepada setiap individu.

Penolakan ini disampaikan dalam meterinya pada webinar yang membahas Omnibus Law terkait Rencangan Undang-Undang, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang berlangsung, Kamis (12/8/2021).

Dalam materinya dengan topik “Pajak Karbon : Realitas dan Harapan Pembangunan Indonesia Berkelanjutan" itu, politisi PKS Maluku ini menilai RUU KUP yang akan mengatur tentang Pajak Karbon, kepada individu atau badan yang melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon tidak serta merta harus menyasar semua segmen masyarakat.

“Pemerintah harus menentukan ambang batas emisi karbon yang diperkenankan, sehingga implementasi pajak karbon tidak akan menjadi beban dari rakyat kebanyakan,” tagas Saadiah.

Saadiah juga mengingatkan bahwa ketentuan Pajak sebagai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup telah diatur pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Anggota DPR RI yang duduk di Komisi IV ini mengaku,  pada dasarnya dirinya sangat menyambut positif rencana penetapan Pajak Karbon ini sebagai salah satu upaya mengatasi eksternalitas negatif yang timbul dari aktivitas industri.

Terutama, kata dia,  yang menyebabkan peningkatan gas rumah kaca.

 “Pajak karbon merupakan konsepsi yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan yang ingin di wujudkan dalam pembangunan nasional,”urainya.

Namun, legislator asal Maluku ini menegaskan, agar pajak karbon dapat efektif dalam aplikasinya.

“Penyebab emisi yang terbesar adalah sektor kehutanan, yang menyumbang lebih dari 50 % emisi nasional.Sektor kehutananlah yang perlu mendapatkan perhatian besar terutama untuk mencegahnya dari kebakaran hutan dan lahan,”sebutnya.

Saadiah Uluputy juga menyinggung rencana pemerintah yang akan mengenakan tarif Rp. 75/ kg CO2e, berhitung berdasarkan inventarisasi GRK sebanyak 1,8 juta ton CO2e.

“Total penerimaan negara dari pajak karbon adalah Rp.40 milliar/ tahun. Artinya jauh lebih kecil dari komitmen dunia international untuk mendukung program Reducing Emission from Degradation and Deforestation (REDD+) yang besarnya mencapai U$ 1 Milliar,” rincinya.

Untuk itu, Ia menambahkan, sebagai mitra dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dirinya berpandangan bahwa anggaran REDD+ yang besar tersebut justru dapat digunakan untuk memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berkontribusi positif bagi lingkungan.

“Pada kondisi ekonomi yang tertekan akibat Pandemi Covid-19 ini, lebih baik pemerintah mengedepankan mekanisme insentif daripada disinsentif berupa pengenaan pajak,” tutup Saadiah.

Webinar  yang digelar RADESA Institute dengan tema ‘Peluang dan Tantangan Implementasi Pajak Karbon dalam RUU KUP’ itu juga menghadirkan sejumlah pembicara antara lain,  Anggota Komisi XI DPR RI FPKB, Fathan Subakti,

Joko Tri Jaryanto dari  Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, Dosen Ekonomi UHAMKA, Ambarsari Dwicahyani dan Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia,  Paul Butar Butar (*)

Pewarta : Dhino Pattisahusiwa