BERITABETA.COM – Tanggal 22 Oktober 1979 silam, menjadi sebuah momentum penting untuk mengenang seorang anak manusia yang unik dan langka kisahnya. Studi yang menjadi impian setiap orang, sepertinya tidak beraku bagi sosok yang satu ini. Hari istimewa itu bahkan diabadikan oleh salah seorang rekannya yang juga penyair ternama Taufik Ismail.

Taufik Ismail datang untuk membacakan puisi penyemangat, ketika lelaki unik yang menghilang belasan tahun itu ikut diwisuda. Taufik Ismail bercerita tentang kisah teman satu atapnya dulu, Kasim.

Kasim masih menjadi mahasiswa IPB saat menghilang selama 15 tahun di Pulau Seram, Maluku. Dia kembali ke kota hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh. Tapi, dia disambut bak seorang pahlawan yang baru saja kembali dari medan laga. Dia dielu-elukan segenap penjuru.

Kisahnya menitikkan haru. Dia diabadikan dalam puisi. Dia seperti sungai yang tak henti mengalirkan inspirasi.

Saat digelarnya wisuda di Hotel Salak, Bogor, lelaki berkulit legam itu dikelilingi teman-temannya. Dia hanya mengenakan sandal jepit. Temannya membawakan sepatu dan jas untuknya. Dia menolak memakainya. Namun, temannya bersikeras.

Lelaki itu, Muhammad Kasim Arifin. Pria yang lahir di Langsa, Aceh, 18 April 1938 itu adalah mahasiswa yang kembali setelah 15 tahun.

Teman- temannya sudah lama sarjana dan banyak yang sudah menjadi pejabat. Kasim hanya seorang petani yang bersahaja. Tapi dia Justru jauh menjulang dibandingkan semua orang.

Tahun 1964, dia hanya seorang mahasiswa biasa yang mengikuti Program Pengerahan Mahasiswa, yang sekarang bernama Kuliah Kerja Nyata.

Di masa itu, mahasiswa harus siap ditempatkan di pelosok negeri. Kasim mendapat lokasi di Waimital, Pulau Seram, Maluku.

Dia pun mendatangi daerah terpencil itu sebab didorong hasrat untuk membumikan semua pengetahuannya. Di Waimital, dia bertemu keluarga petani miskin yang datang melalui program transmigrasi.

Nuraninya terketuk. Dia ingin berbuat sesuatu. Dia menanggalkan semua identitas kota pada dirinya. Dia memakai sandal jepit dan baju lusuh. Dia ikut menemani petani yang berjalan kaki 20 kilometer menuju sawah. Dia melakukannya setiap hari dan bolak-balik. Dia membantu petani untuk mengolah tanah. Diajarkannya pengetahuan yang didapatnya di kampus IPB.

Dia membantu masyarakat untuk membuka jalan desa, membangun sawah baru, membuat irigasi. Dia tidak menunggu bantuan dari pemerintah. Dia membangkitkan semangat masyarakat untuk bergotong-royong.

Kasim peduli pada petani lebih dari dirinya sendiri. Dia pun mendapat kasih sayang dari semua orang.

Dia disapa Antua, sebutan bagi orang yang dihormati di Maluku. Kasim begitu larut untuk membantu masyarakat, sampai-sampai dia lupa pulang. Seharusnya dia di Waimital hanya tiga bulan. Tapi dia merasa tugasnya belum selesai. Bahkan saat semua teman-temannya pulang, dia tetap menjadi petani. Bahkan semua temannya telah diwisuda, dia masih setia di kampung itu. Hingga semua temannya lulus dan menjadi pejabat, dia tetap memilih di kampung itu hingga 15 tahun.

Di Aceh, orang tuanya memanggil. Dia bergeming. Bahkan Rektor IPB, Profesor Andi Hakim Nasution, memanggilnya kembali, dia masih juga bergeming. Tak kurang akal, Rektor IPB lalu mengutus Saleh Widodo, seorang teman kuliah Ķasim, untuk menjemputnya di sana. Dengan berat hati, Kasim bersedia ke Jakarta, lalu Bogor, hanya dengan sandal jepit dan baju lusuh.

Kampus memanggilnya untuk menyelesaikan studi. Kasim sejatinya tak butuh gelar akademik, tapi dia tak kuasa menolak permintaan teman-temannya. Dia mengaku tidak sanggup membuat skripsi.