Oleh karena itu, figur Bahlil yang sering dipolemikan identitasnya tak berkesudahan. Pasalnya ada yang beranggapan ia dari Papua, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Jelasnya Bahlil bukanlah seorang figur ”naturalisasi”. Pasalnya  Bahlil lahir di Banda Naira, menemupuh pendidikan SD di Banda Naira hingga letusan Gunung Api Banda tahun 1988.

Bahlil dan kelaaurganya pun hijrah ke Pulau Geser Seram Timur dan di pulau mungil itu ia melanjutkan pendidikannya. Hingga kemudian ia hengkang ke Fak-Fak untuk melanjutkan pendidikan SLTP, dan SLTA di kabupaten berjuluk Kota Pala itu.

Selanjutnya ia mengeyam pendidikan tinggi pada salah satu perguruan tinggi di Kota Jaya Pura yakni, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay. Pointnya adalah identitas Bahlil suka atau tidak suka, dia adalah putra terbaik Banda Naira, Maluku. Sehingga dalam perpektif geo politik bisa digambarkan dengan kata-kata bahwa, ”Banda Naira adalah Maluku, Maluku adalah Banda Naira”.

Tanpa Banda Naira dalam peta Kepulauan Maluku, maka tentunya seluruh peradaban kebudayaan dan agama-agama samawi/Abrahamic (Islam, Katolik&Protestan) besar, yang berasal dari Asia Barat dan Eropa Barat di Maluku tidak akan ada, dan kita anut (*)

 

Penulis adalah Dosen di Universitas Pattimura Ambon