Oleh : Abd Rahman Sengan (Ketua PPK Kecamatan Siritaun Wida Timur, Kabupaten SBT)

Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan beberapa perdebatan atau diskusi yang sering kita saksikan di media-media nasional, salah satunya tentang oligarki polititk yang menggerogoti politik Indonesia.

Tema ini mengemuka sebagai pembahasan menarik, karena di jagat politik dan hukum kita sering terjadi operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun kasus pencucian uang yang melibatkan banyak sekali Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Anggota DPR, DPD maupun beberapa menteri juga terlibat dalam kasus hukum.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kasus ini terjadi akibat dari adanya korupsi politik yang dalam istilah trennya disebut sebagai politik gentong babi.

Pada momentum demokrasi elektoral, para kuasa modal sering menjadi faktor penentu kemenangan bagi calon tertentu, sehingga di saat berkuasa maka terjadi kesepakatan untuk membalas budi kepala daerah terpilih kepada para pemodal ini.

Dalam menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPR, DPD, Presiden, anggota DPRD Provinsi maupun kabupaten/kota pada 14 Februari 2024 mendatang dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota yang rencana dilaksanakan pada November 2024, tentu kita akan diperhadapkan pada ancaman politik uang.

Saya memulai dengan sebuah pertanyaan mendasar yaitu, Bisakah Politik Uang dihentikan? jawabannya adalah bisa. Tapi tentu pertanyaan ini menjadi tugas dan tanggungjawab bagi semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, karena politik uang sering dipakai dalam setiap proses pelaksanaan Pemilu di Indonesia.

Politik uang merupakan hal yang sudah mendasar dan mendarah daging di masyarakat. Karena sudah menjadi kebiasaan yang melekat dalam masyarakat, sehingga mindset masyarakat juga berubah — tidak ada uang politik maka tidak ada suara yang akan mereka salurkan.

Ini tentunya sangat bahaya dan memprihatinkan, karena penentuan pilihan (preferensi politik) didasarkan pada pragmatisme politik atau seberapa banyak uang yang diberikan calon kepala daerah kepada para pemilih.

Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya politik uang. Pertama, Hukum bisa ditukar dengan Uang. Faktanya, hukum di Indonesia merupakan hukum yang bisa dibeli dengan uang.

Bukan karna hukumnya yang salah, namun karena pemangku jabatan dalam penegakan hukum yang membuat hukum tidak bisa memberikan efek jera bagi para penyuap. Dengan iming-iming harta benda atau uang dari para pelaku maka hukuman yang diberikan dapat dipersingkat.

Kedua, kebutuhan ekonomi. Kemiskinan  menjadi faktor utama dalam politik uang, kondisi kemiskinan memaksa seseorang untuk mendapatkan uang secara cepat. Politik uang menjadikan cara masyarakat untuk berebut uang. Meraka tidak mempedulikan kosekuensi yang akan diterima jika mereka menerima suap suara.

Ketiga, Rendahnya Pengetahuan Masyarakat. Tidak semua orang tahu bentuk dari politik dan dampak dari politik. Ini dikarenakan kurangnya informasi pendidikan politik yang diperoleh atau masyarakat sendiri yang memang acuh dan tidak mau tahu, sehingga pada saat adanya pesta demokrasi, masyarakat seakan acuh terhadap hal tersebut.

Politik uang bukan merupakan nilai-nilai atau norma adat yang diajarkan oleh leluhur kita, namun politik uang seperti sudah menjadi tradisi terutama bagi kelompok elit.

Jika dillihat dari sejarah, sebenarnya politik uang sudah ada dari zaman kolonialisme. Para penjajah menyuap pejabat pribumi guna memperoleh apa yang dikehendakinya.

Kebiasaan buruk tersebut ternyata berlangsung hiingga saat ini dan diaplikasikan dalam konteks pemilihan umum. Kedua, Haus kekuasaan Semua orang memiliki sifat ingin menjadi yang tertinggi, dan ingin menjadi pemimpin. Bisa dikatakan manusia haus akan jabatan. Demi mendapatkan jabatan yang diinginkan setiap orang rela menghalalkan segala cara dan salah satunya dengan melakukan politik uang.

Melawan Politik Uang

Bagi penulis, di era modern ini kadang kita sulit mengenal musuh yang setiap saat mengancam keselamatan kita sebagai bangsa dan negara. Kita kadang menilai musuh negara adalah penjajahan dalam bentuk fisik(militer), padahal ada musuh lain yang tidak mengancam secara fisik tetapi perlahan menghabisi kita — salah satunya adalah korupsi.

Tanpa disadari, korupsi adalah musuh yang sangat membunuh sendi-sendi kehidupan berbangsa kita.

Hal-hal yang mengancam kedaulatan setiap negara, membahayakan keutuhan negara juga masuk dalam kategori ancaman.

Secara umum, ancaman dikategorikan menjadi tiga yaitu ancaman militer, ancaman non militer dan ancaman hybrida. Ancaman militer berhubungan dengan perang fisik, ancaman non-militer berhubungan dengan ideologi, penyakit seperti Covid-19 dan termasuk korupsi. Sedangkan ancaman hybrida berhubungan dengan kejahatan syber, ujaran kebencian maupun isu-isu politik identitas.

Di dalam pedoman strategis kementerian pertahanan mengatur bahwa korupsi merupakan salah ancaman yang dikategorikan dalam ancaman nonmiliter. Olehnya itu, karena korupsi merupakan ancaman yang sudah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara maka perang melawan korupsi merupakan sebuah keniscayaan dari semua unsur.

Istilah Perang Semesta sering kita dengar pada akhir hari perlawanan rakyat semesta adalah perang rakyat semesta. Maksudnya adalah, perlawanan total semua rakyat Indonesia terhadap usaha musuh untuk merampas kemerdekaan dan kedaulatan RI, dengan cara mengerahkan semua potensi dan kekuatan nasional.

Memahami arti perang dalam pengertian klasik dan konvensional pasti mengira Indonesia dalam keadaan sedang tidak berperang. Namun jika dalam pengertian yang luas dan baru, sesungguhnya Indonesia saat ini dalam kecamuk perang. Suatu perang baru dalam kontinum pengertian yang sangat luas sebagai perang semesta, perang modern, proxy war, atau perang asimetris. Perang tanpa mengerahkan pasukan besenjata.

Dalam konteks yang baru saat ini, perang tidak lagi menjadi kata kerja, tetapi berubah menjadi kata sifat.

Dalam pengertian perang kontemporer, pembaca akan diajak bertamasya ke berbagai dimensi peperangan dalam konteks melawan politik uang dalam pelaksaan Pemilu.

Dalam perang militer, kementerian pertahanan menjadi ujung tombak. sedangkan perang non militer semua elemen bangsa dituntuk untuk terlibat aktif agar bangkit melawan semua hal yang merugikan negara, termasuk praktek politik uang yang sering dilakukan pada saat pelaksanaan Pemilu.

Korupsi di Indonesia seperti layaknya semboyan mati satu tumbuh seribu. Jika kita telusuri, ternyata korupsi adalah embrio dari politik uang. Olehnya itu, perang melawanya tidak bisa menjadi tanggungjawab satu atau dua pihak, tetapi semua elemen masyarakat mesti ikut terlibat dalam memerangi.

Bawaslu semestinya berperan penting sebagai panglima perang untuk mengkoordinir semua kekuatan yang kita miliki. Untuk menjawab dan melawan politik uang, hemat penulis yang perlu dilakukan oleh bawaslu adalah:

1. Intensif dalam melakukan pendidikan politik, dimana perubahan mindset masyarakat adalah kata kunci. Nah, untuk merubah pola pikir masyarakat tentang maraknya politik uang yang sudah mendarah daging, maka perlu dilakukan sosialisasi dan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.

Bawaslu tentu yang menjadi penggerak dalam mengajak pihak-pihak yang terlibat seperti partai politik, ormas besar seperti NU, Muhamadiyah dan organisasi kepemudaan maupun oranganisasi kemahasiswaan, serta seluruh elemen penting untuk melakukan pendidikan politik.

2. Mengupgred pengetahuan kader pengawasan partisipatif dalam melakukan kerja-kerja intelijen. Dimana, salah satu tugas besar yang menjadi catatan Bawaslu adalah dari sisi kelembagaan pengawasan pemilu, penguatan partisipasi masyakat menjadi keharusan.

Hal tersebut sesuai dengan slogan Bawaslu “Bersama rakyat awasi pemilu’’.

Mengawasi dan mengajak semua pihak untuk melakukan pengawasan. Dari sisi ini kita mengapresiasi bawaslu dalam melakukan sekolah kader pengawasan dengan tujuan gerakan bersama untuk menciptakan pemilu yang berintegritas.

Tidak dipungkuri bahwa Bawaslu tentu pasti mengalami kesulitan-kesulitan dalam melakukan penindakan terhadap pelanggaran pemilu. Salah satunya adalah pengawasan terhadap terjadinya praktek politik uang.

Yang sering menjadi kendala adalah berhubungan dengan pengumpulan alat bukti dan bahan bukti sebagai syarat moril maupun materil dalam melakukan penindakan. Sering kita mendapatkan informasi mengenai pelanggaran saat pemilu tetapi kaburnya alat bukti dan bahan bukti maka menjadi kendala bawaslu untuk melakukan penindakan.

Tentu ini dibutuhkan penguatan terhadap kerja-kerja inteljen yang baik oleh kader pengawas partisipatif agar ada perwakilan bawaslu sendiri untuk memata-matai setiap gerak orang yang hendak melakukan pelanggaran pemilu.

Kerja-kerja inteljen ini tentunya menjadi rahasia tersendiri bagi pihak Bawaslu dalam melakukan bimbingan kepada kader pengawas partisipatif (*)