Bedah Film Beta Mau Jumpa, Abidin Wakano : Jangan Bangun Musuh Imajiner

BERITABETA.COM, Ambon – Film berjudul Beta Mau Jumpa (Beta Mau Bakudapa) mengisahkan segregasi hubungan antar orang Maluku, Islam dan Kristen yang hidup terpisah kewilayahan akibat konflik horizontal pada 1999 silam.
Film ini digarap atas kerja kolaborasi antara Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, WatchdoC Documentary, dan Pardee School of Global Affairs, Boston University, dengan dukungan dari the Henry Luce Foundation.
Film documenter berdurasi 35 menit tersebut mengisahkan cerita kelam konflik 1999-2002 yang menyebabkan sekitar lima ribu orang meninggal dunia, dan kurang lebih setengah juta penduduk Maluku saat itu mengungsi.
Peran dan upaya para perempuan dan anak muda di Maluku ikut merajut perdamaian, serta menjembatani kesenjangan hubungan antara umat Kristen dan Islam yang telah lama mengalami segregasi pascakonflik.
Komunitas Anak Muda Maluku melaksanakan nonton bareng dan bedah film tersebut di Kahfi Kafe Wara, Air Kuning Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau Kota Ambon pada Jumat malam, (5/11/2021).
Dua Panelis yakni Akademisi IAIN Ambon Dr. Abidin Wakano, dan Rudi Fofid, Jurnalis Senior di Maluku, dihadirkan untuk membedah film ini.
Abdin Wakano mengatakan, melalui perjumpaan dapat mengurai kebuntuan, membuka jalan yang cerah, karena manusia dibentuk dengan ruang lingkup sosial politik yang luar biasa.
“Jika kita jarang berdialog dan berjumpa (bakudapa) dapat terbangun musuh imajiner. Dari mana munculnya musuh imajiner itu, yaitu mulai dari stereotif, kemudian berkembang menjadi prasangka [prejudice] lalu muncul ketegangan diam [silent tension], dan jika kita tidak mampu mengelolanya dengan baik dapat menghasilkan konflik dan kekerasan. Sesama orang Maluku harus memperkuat ruang bakudapa untuk merawat perdamaian,”tandasnya.
Dia menjelaskan, masyarakat tidak hidup di ruang hampa, tetapi ada ruang lingkup kehidupan sosial, politik, ekonomi yang mengitarinya, secara otomatis masing-masing pengalaman dan memori kolektif, bisa positif dan negatif.
Jika di dalam kehidupan bersama itu banyak pengalaman-pengalaman buruk yang bernuansa ketidakadilan, dendam, permusuhan, biasanya akan muncul ketegangan. Jika tidak ada ruang bakudapa, lanjutnya, maka akan selalu tampak [manifest] menjadi polemic, konflik dan kekerasan.
Apalagi dunia kekiniaan, bukan hanya di Maluku tetapi di mana saja, dia menilai, media sosial seperti menjadi ruang yang benar-benar membuat kehidupan antar sesama warga negara menjadi tersegregasi.
[Segregasi], sambungnya, bukan hanya persoalan wilayah saja, tetapi lebih parah atau bahaya lagi adalah segregasi mental dan pemikiran. Bahkan di tengah generasi saat ini dinilainya sebagai “generasi yang punya tradisi literasi sangat rendah” sehingga susah untuk tabayyun (klarifikasi).
“Kalau kita punya tradisi literasi yang bagus kita tidak akan cepat terprovokasi dengan isu-isu provokatif di Medsos. Di Medsos hari ini tanp sadar kita sering merayakan sakit hati, kebencian, dan permusuhan. Padahak di Medsos itu kita harus merayakan persahabatan, cinta dan kasih saying,”ungkapnya.
Dia menyadari, hal ini tentu menjadi tantangan terberat. Sehingga kaitannya dengan suguhan film “Beta Mau Jumpa” menurut dia, seperti cerita orang basudara atau storytelling agar didengar oleh penerima pesan tak lain orang Maluku.
Dia sangat mengapresiasi upaya para pihak yang terlibat yaitu pembuat dan para pemain filim ini sudah ikut menggagas dan merawat perdamaian Maluku.
Abidin lalu mengenang kontribusi para Ibu Gerakan Peduli Perdamaian (GPP), Jibu-jibu yang melintasi batas, Tukang Ojek, dan kalangan Anak-anak Muda pada saat itu termasuk aktivis OKP/OKPI mau bakudapa di ‘pojok-pojok’ secara diam-diam mereka semua adalah orang-orang yang ikut merawat perdamaian bagi Maluku.
“Soal konflik 1999 ini, jangan diwariskan cerita-cerita kekerasan saja, tetapi hendaknya mewarisi cerita damai,”tegasnya.
Bicara Maluku, lanjutnya, jangan hanya tentang konflik 1999. Walaupun cerita damai saat itu sangat berbahaya bagi orang-orang yang berani merambah dunia tersebut.
“Yang sering saya sampaikan gerakan itu secara sosial ekonomi sangat tidak populer. Bapak saya bilang sebenarnya anda mau cari apa disitu? Padahal gerakan ini penuh risiko. Tetapi jalan yang harus ditempuh setiap dari kita, mari bermanfaat walaupun sedikit dalam hidup untuk kehidupan ini,” tukasnya.
Dia menuturkan, perdamaian atau bakubae ini terdapat dua perdebatan. Misalnya orang seperti yang ditulis dalam buku berjudul Carita Orang Basudara, Gerry van Klinken mengatakan, masa depan perdamaian Maluku tidak dapat mengalami proses pematangan yang luar biasa tanpa keadilan [justice]. Artinya, terhadap peristiwa masa lalu harus ada proses perwujudan keadilan, pastinya ini melalui proses hukum.
Tapi, almarhum Rizal Panggabean yang juga salah satu penulis dalam buku ini mengatakan, untuk mencari siapa pelaku menghukum siapa, itu adalah pekerjaan yang terlalu rumit. Maka mulailah dari hal-hal yang kecil.
“Bakudapa, bakubae adalah jalan meniti damai. Itu seperti cerita peristiwa holocoust,”tutur Abidin mengutip pendapat Rizal Panggabean.
Peristiwa Holocaust ini, lanjutnya, mengenai penyiksaan dan pembantaian terhadap sekitar enam juta orang Yahudi oleh rezim Nazi, lalu ada seseorang yang ingin mencari siapa pembunuh keluarganya, dari usia muda sampai sudah menjadi kakek ingin mencari pelaku untuk menuntut keadilan.
Ternyata, dia menyadari puluhan tahun hanya dihabiskan untuk mencari siapa pelaku atau pembunuh keluarganya. Sebaliknya orang itu sadar kalau dirinya telah menyia-nyiakan waktunya begitu panjang.
“Saya kira di Maluku, kita semua menjadi bagian dari proses bersama merawat damai untuk masa depan Maluku dan dunia. Anda tidak berhak merubah orang lain, tetapi anda lebih berhak merubah diri anda sendiri, sehingga orang lain dapat berubah karena anda yang berubah,”tambah dia.
“Saya kira ini harus menjadi spirit bersama. Kita semua harus berupaya untuk menjadi orang yang bermanfaat dalam proses-proses kedepan,” tuturnya.
Abidin mengatakan, percuma kalau membuat banyak agenda jika tidak memulainya dengan sering melakukan pertemuan untuk merajut kembali kebersamaan dan persatuan seperti pra 1999.
“Hemat saya ini merupakan sesuatu hal yang penting untuk kita lakukan terus menerus,”timpalnya.
Pendekatan untuk perdamaian tidak hanya satu sisi saja, tetapi harus melibatkan berbagai komponen. Baik di wilayah Kristen yang hilang maupun komunitas Islam.
Dia mengaku, upaya damai selama ini telah dilakukan semua orang. Karena tiap orang Maluku punya memori kolektif untuk cerita 1999.
Tapi, lanjutnya, bakudapa pun tidak cukup untuk mewujudkan perdamaian. Alasannya, karena dalam teori sosilogi psikologi terhadap sesuatu yang cukup harus dilakukan adalah proses rekognisi. Karena tanpa rekognisi, biasanya orang saat bakudapa akan merasa hampa.
“Apa yang kita dengar dan baca akan membentuk pikiran. Kemudian pikiran membentuk kata-kata. Dan Kata-kata membentuk aksi jadi sebuah kebiasaan, serta kebiasaan itu membentuk karakter, dan karakter akan menentukan masa depan,”jelasnya.
“Termasuk apa yang kita dengar. Ingat satu kata, terkadang hari ini tidak bermakna, tetapi satu waktu, walaupun satu kata yang telah kita ucapkan hari ini, akan bermakna dalam kehidupan nanti,”tukasnya.

Menurutnya, tak ada pahlawan perdamaian yang dapat dikukuhkan di Maluku. Sebaliknya, yang harus dilakukan secara berkesinambungan adalah membangun jiwa-jiwa damai, adil, tulus, dan penyayang.
“Saya kira ini akan menjadi kekuatan untuk membangun peradaban masa depan. Mari kita wariskan cita-cita damai di Maluku. Damai bukan saja Islam dan Kristen, tetapi damai antar teman, dalam keluarga serta damai di berbagai aspek,”pungkasnya. (*)
Editor: Redaksi