Oleh : Dr. Abidin Wakano, (Dosen Pacasarjana IAIN Ambon/Direktur Ambon Reconciliation And Mediation Center IAIN Ambon)

Sungguh miris--tragedi kerusuhan pada Stadion Kanjuruhan Malang, Provinsi Jawa Timur pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022, menyebabkan ratusan orang meninggal dunia.

Dunia ini merupakan fenomena menguatnya fanatisme buta dan semangat komunalisme semu atas nama apa saja, biasanya membuat kita terjebak pada rasa paling benar sendiri [truth claim], atau selalu merasa benar dan orang lain salah.

Rasa superior dan orang lain rendah/imperior, kemudian diikuti sikap yang "radikal", brutal, serta tindak kekerasan.

Hal seperti ini dapat terjadi pada semua ranah kehidupan--biasanya ada konstruksi musuh imajiner [Hantu dalam Pikiran], hingga terbentuk "In Group versus Out Group".

Dalam banyak kasus, fanatisme buta dan komunalisme semu merusak akal sehat dan rasa kemanusiaan.

Dalam kerumunan massa di dunia maya/media sosial atau lapangan suatu issu atau kata, dapat dikelola/konstruksi hingga menimbulkan penghakiman massal tanpa proses 'tabayyun [klarifikasi], atau bahkan dapat menyebabkan konflik terbuka, kerusuhan dan kekerasan sosial.

Kekerasan yang tercipta dalam kerumunan/kerusuhan seperti ini membuat banyak orang kehilangan akal sehat dan empatinya terhadap sesama.

Lupa bahwa orang yang disakiti, dipukul, dilempari, diinjak, dan terbunuh itu adalah anak dari seorang ibu dan ayah, yang diasuh dengan penuh kasih sayang, sebagaimana kita juga.

Atau orang itu adalah seorang ayah atau ibu, yang menjadi tulang punggung anak dan keluarganya yang sedang menunggunya di rumah dengan penuh harap.