Oleh : Edha Sanaky (Pemerhati Masalah Sosial)

TIDAK semua manusia terlahir memiliki bentuk tubuh yang sama dan sempurna. Ada yang pendek, tinggi,  gemuk ataupun kurus. Kata “sempurna” seperti dua mata pedang yang beririsan.

Di satu sisi, ia tampak bersifat positif namun di sisi lain, ia bisa menampakkan sisi negatifnya kala sudah berlebihan. Bentuk tubuh yang dianggap “tidak sempurna” kadang menjadi ajang bullying atau kritik bahkan ejekan-ejekan yang sering kita sebut sebagai body shaming.

Akhir-akhir ini, istilah body shaming sedang naik daun dan dikaitkan dengan UU ITE yang bisa berujung pidana bagi pelakunya.

Apa sih body shaming itu? Secara sederhana, body shaming berarti komentar yang mengolok-olok tubuh seseorang. Sebenarnya body shaming ini sering kita temui di keseharian, baik secara langsung maupun di media sosial. Secara tak sadar mungkin juga kita pernah menjadi pelakunya, karena dianggap hal yang wajar atau bermaksud gurauan pada teman.

Body shaming termasuk dalam bullying secara verbal. Ada berbagai macam bentuk body shaming, salah satunya adalah Fat Shaming yang merupakan komentar negatif terhadap orang yang bertubuh gemuk atau berukuran plus.

Fat shaming adalah budaya mengkritik dengan bumbu ejekan yang awalnya ditujukan bagi pengidap obesitas agar termotivasi menguruskan badannya.

Menurut Freur, fat shaming merupakan sebuah tindakan mengolok-olok dan stigmatisasi kepada korban, meruntuhkan harga diri dan mengabadikan gagasan berbahaya tentang bagaimana penampilan fisik kita dipaksa untuk serupa dengan tubuh yang dianggap sempurna.

Contoh fat shaming yang kita temukan sehari-hari, seperti, “besok kalo shalat Ied Adha, jangan ke mesjid ya. Nanti kamu gak bisa pulang, ditahan buat qurban.” Atau juga perkataan “itu perut apa polisi tidur?”

Perkataan seperti itu terkadang dianggap sebagai candaan, tetapi sering tidak diketahui bahwa candaan atau komentar-komentar seperti itu bisa berdampak kepada orang yang dikomentari.

Padahal, tujuan awal orang yang berkomentar mungkin saja mulia, yakni agar orang-orang yang kelebihan berat badan itu bisa mengubah gaya hidup serta pola makan. Sayang, korban fat shaming kerap malah depresi berkepanjangan.

Misalanya, akibat yang ditimbulkan adalah korban kemudian melakukan diet ketat seperti tidak makan sama sekali, minum segala jenis obat pelangsing tanpa memperhatikan efeknya yang berbahaya bagi kesehatan.

Ada kondisi lain misalnya, berakibat eating disorder. Korban merasa overweight atau underweight, korban body shaming akan berusaha untuk mengubah ukuran tubuhnya. Mereka akan mengurangi atau menambah porsi makan mereka dari biasanya, demi target yang ingin dicapai.

Kalau terus-menerus dilakukan, tentu saja hal ini bisa berbahaya bagi kesehatan tubuh. Bila kamu ternyata mengalami eating disorder (kelainan pada kebiasaan makan).

Padahal, tujuannya hanya satu, yaitu memperoleh tubuh yang sempurna sehingga tidak lagi menjadi bahan bullying. Orang gemuk dan obesitas diidentikkan dengan pemalas yang banyak makan.

Tetapi tahukah kamu? Dr. Rebbeca Puhl,  Wakil Direktur Rudd Center for Food Policy and Obesity di University of Connecticut seperti dikutip dari tirto.id mengatakan bahwa kegemukan juga disebabkan oleh faktor lain seperti genetis atau serangan penyakit.

Banyak penderita obesitas yang berusaha menguruskan badan, namun sekuat apapun usahanya, mereka tetap gagal. Alih-alih mengolok-olok, para penderita obesitas dan kegemukan ini justru butuh dukungan moral untuk menjalani pola hidup sehat. Jika kita benar-benar peduli dengan para penderita kegemukan ini, menghentikan “fat shaming” adalah awal yang baik.

Bullying atau ejekan dan olok-olokan terhadap orang gemuk dan penderita obesitas tidak hanya terjadi pada masyarakat biasa. Artis Audy Item sering menerima ejekan atau fat shaming karena bentuk badannya yang gemuk. Namun dia menjawab dengan bijak, bahwa dia hanya ingin sehat dengan betuk tubuh apapun.

Kitapun demikian, jika memiliki tubuh yang kelebihan size, belajarlah mencintai diri kita sendiri untuk menerima ketidaksempurnaan kita. Kebahagiaan orang lain bukanlah menjadi tanggung jawab kita tapi kebahagiaan kita adalah tanggung jawab kita sepenuhnya. Bukan egois tapi mencintai diri sendiri membuat diri kita merasa berharga.

Ancaman Hukuman

Tidak main-main, ternyata perbuatan body shaming atau penghinaan fisik di media sosial maupun ruang publik dapat dilaporkan ke kepolisian dan dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik/penghinaan (delik aduan) serta Pasal 315 KUHP tentang penghinaan ringan.

Dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

Sedangkan, berdasarkan Pasal 315 KUHP berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Mengutip dari Hukum Online, untuk mengetahui apakah body shaming di media sosial dapat dikategorikan sebagai penghinaan, kita bisa merujuk pada pasal penghinaan ringan menurut Pasal 315 KUHP di atas.

Dengan adanya undang-undang tersebut, maka sudah sepatutnya kita menjaga dalam berkomentar di media sosial. Bukan saja supaya tak terjerat hukum, tetapi karena body shaming itu sendiri merupakan perbuatan yang menyinggung perasaan orang lain (***)