Demokrat : Wacana Tunda Pemilu, Hanya Ketakutan dan Akal-akalan Penguasa
![Wakil Sekretaris Jenderal [Wakasekjen] DPP Partai Demokrat Jovan Latuconsina](/storage/img/2022/03/jovan-sss.jpeg)
BERITABETA.COM, Jakarta – Wacana perpanjangan kekuasaan yang terus digaungkan dalam berbagai bentuknya, dinilai mencerminkan ketakutan dan akal-akalan pemerintah saat ini untuk menghindari pergantian kekuasaan pada Pemilu 2024 nanti.
“Pemilu 2024 belum dilaksanakan, pemerintah sudah mengalami post power syndrome (sindrom paska kekuasaan), sehingga tega mengkhianati amanat reformasi untuk membatasi kekuasaan,”kata Wakil Sekretaris Jenderal [Wakasekjen] DPP Partai Demokrat Jovan Latuconsina dalam rilisnya yang diterima beritabeta.com, Minggu (13/3/2022).
Jovan menegaskan, semua pihak harus mengapresiasi ketegasan sikap Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh untuk menolak penundaan Pemilu dan wacana Presiden tiga periode.
“Dua negarawan senior ini tahu betul konsekuensi dari menghianati demokrasi ini. Rakyat bisa chaos. Bukan tidak mungkin TNI Polri akan dijadikan alat untuk membungkam ketidaksetujuan rakyat,” tegas Jovan”
Namun, kata Jovan harus diingat, sejarah mengajarkan ketika rakyat terus ditekan dan ditakut-takuti, mereka akan tiba pada satu titik saat mereka melawan balik, sehingga bisa terjadi chaos besar.
Konsekuensi inilah yang dihindari oleh Megawati dan Surya Paloh. Para pejabat yang sekarang ini berupaya untuk utak-atik menghianati amanat reformasi, sebaiknya belajar dari Megawati dan Surya Paloh. Biaya politik dan sosialnya akan terlalu besar.
“Pergantian kekuasaan adalah sesuatu yang alamiah dalam sejarah, dan sudah dijamin dalam konstitusi kita. Jika ini diutak-atik terus dengan berbagai alasan, sejarah tahun 1998 mengajarkan pada kita bagaimana publik melakukan koreksi dengan sendirinya,” tegas Jovan.
Jovan menanggapi pernyataan terakhir Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang kembali menggaungkan wacana perpanjangan kekuasaan, kali ini dengan alasan riset big data yang menunjukkan aspirasi publik.
Sebelumnya, klaim beberapa Ketua Umum partai politik yang menyatakan ada aspirasi rakyat untuk menunda pemilu, dibantah oleh sejumlah survei lapangan yang dilakukan nasional. Klaim Luhut kemudian juga dibantah sejumlah pakar big data, karena jumlah datanya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, dan setelah diteliti ulang, hasilnya lebih banyak yang menolak ketimbang menunda pemilu.
“Pernyataan pak Luhut Panjaitan dengan dalih riset big data ini hanya akal-akalan saja,” tegas Jovan, yang pernah menjadi Komandan Batalyon Raider 323 Kostrad, ini.
“Ini adalah skenario lanjutan dari upaya melanggengkan kekuasaan, yang mengkhianati amanat Reformasi,”sambungnya.
Javan menembahkan, sebelumnya, skenario tiga periode gagal, demikian juga skenario perpanjangan jabatan gagal, sekarang dilanjutkan skenario tunda pemilu. Melihat wacana tunda pemilu ini pun kemungkinan besar akan gagal, skenario lain yang mungkin dilakukan adalah memaksakan amandemen UUD 45, dengan memanfaatkan kekuatan partai koalisi yang dominan di DPR RI maupun di MPR RI.
“Alternatif lain adalah menggembosi KPU dengan tidak mencairkan anggaran Pemilu 2024, karena sampai sekarang pembahasan anggaran Pemilu masih deadlock,” kata Jovan.
Ia memperingatkan, skenario paling akhir, bukan tidak mungkin, pemerintah nekat mengeluarkan Dekrit Presiden dengan berbagai alasan, seolah-olah kehendak rakyat berdasarkan survei abal-abal, alasan ekonomi yang belum pulih, alasan Covid-19 yang belum terkendali, dan bahkan alasan perang Rusia-Ukraina yang nun jauh di sana.
“Dengan kata lain, ada indikasi penguasa akan melakukan segala macam cara untuk mencapai tujuan melanggengkan kekuasaan, tanpa peduli bahwa semua rencana ini merupakan permufakatan jahat untuk mengkhianati amanat Reformasi,” beber Jovan mengingatkan.
“Ada apa dengan Pemerintah?” Makin ke sini makin terasa benar apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik wacana perpanjangan kekuasaan yang terus digaungkan ini,”ungkapnya.
Secara akal sehat dan hati nurani, tambahnya, ada beberapa kemungkinan alasan tunda Pemilu. Pertama, Pemerintah sudah dicekam ketakutan kehilangan kekuasaan (post power syndrome) bahkan sebelum kekuasaan berganti. Para pakar psikologi politik dan para sejarawan perlu juga berbicara tentang hal ini.
Kedua, kata Jovan lagi, pemerintah ketakutan rencana pemindahan Ibukota Negara (IKN) yang baru bakal gagal total, baik karena faktor ketidakpastian ekonomi serta kurangnya waktu.
“Baru saja kita membaca Softbank Group Corp membatalkan rencana investasinya bagi IKN, pada Jumat lalu. Sebelumnya pemerintah mengklaim Softbank berkomitmen berinvestasi antara 30-40 milliar dolar AS,” urai dia.
Mundurnya Softbank ini tentunya bukan hanya soal uang, tapi juga merefleksikan ketidakyakinan investor akan proyek ini. Selain itu, bacaan lain pemerintah menaikkan porsi pembiayaan dari APBN hampir dua kali lipat, bahkan Menkeu sempat menjelaskan akan merealokasi sebagian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bagi pembangunan IKN, walaupun kemudian dibantah Menko Perekonomian.
“Waktu yang tersisa kurang dari dua tahun ini juga tidak realistis untuk memindahkan Ibukota Negara. Ingat memindahkan Ibukota bukan hanya membangun gedung dan infrastruktur, tapi juga memindahkan kehidupan manusia dengan segala kebutuhannya di sana,” kata dia.
Para pakar ekonomi dan investasi berani mengatakan dengan sebenarnya, berdasarkan akal sehat dan hati nurani, apakah rencana IKN ini memang layak atau tidak?
“Jangan mengorbankan Pemilu sebagai hak konstitusi rakyat dengan IKN yang merupakan kehendak pemerintah. Demokrat setuju IKN pindah dari Jakarta, tapi Demokrat tidak setuju jika dilakukan saat ini juga, ketika dana yang ada harusnya diprioritaskan untuk pemulihan ekonomi dan penanganan covid-19,” tutup Jovan (*)
Editor : Redaksi