BERITABETA.COM, Ambon - Pilkada serentak 2020 telah berakhir. Prosesnya dinilai berjalan cukup baik. Meski ada dugaan pelanggaran/kecurangan dan sebagainya, tetapi tidak dapat memenuhi unsur pelanggaaran sistimik dan massif saat gugatan PHP diproses oleh Mahkamah Konstitusi (MK RI).

Rata-rata gugatan PHP yang disampaikan para pemohon, ditolak MK termasuk tiga kabupaten dari Provinsi Maluku yaitu Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru dan Maluku Barat Daya. Namun, itu bukan berarti demokrasi dalam hal ini pelaksanaan pilkada sudah maju. tetapi sebaliknya masih perlu dibenahi lagi. Tugas tersebut menjadi kewajiban partai politik (Parpol), dan penyelenggara yakni KPU dan Bawaslu. Lalu apa yang harus dievaluasi dan dibenahi dari pelaksanaan pilkada 2020 kemarin?

Pengamat Demokrasi yang juga Akademisi FISIP Universitas Pattimura Ambon, Amir Kotarumalos berpendapat, peran partai politik (parpol) dalam memberikan edukasi politik guna mencerdaskan masyarakat dalam berpilkada, ternyata masih lemah. Bahkan terdistorsi serta jauh dari harapan atas keberadaan parpol itu sendiri.

Amir menilai, proses pilkada 2020 khusus di 4 kabupaten di Maluku pada 2020 lalu, memang track recordnya sedikit mengalami peningkatan. Menurutnya, kedewasaan politik masyarakat sedikit meningkat dalam pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 lalu.

Misalnya, saat penyampaian visi misi atau debat kandidat di empat kabupaten (11 pasangan calon bupati wakil bupati), tidak ada gelombang alias gesekan antar masyarakat. Bahkan kamapnye hingga hari pemilihan/pencoblosan tidak ada yang ‘terbakar’ alias berkonflik.

“Ini menandakan ada sedikit peningkatan dalam diri masyarakat dan lingkungannya terkait dengan kebutuhan demokrasi electoral mereka. Tapi sisi lain, memang ada pelanggaran juga,” kata Amir Kotaromalos, saat diwawancarai beritabeta.com di Ambon, Minggu, (21/02/2021), seputar apa yang harus dievaluasi dari pelaksanaan pilkada serentak 2020.

“Saya pernah katakan kepada jajaran Bawaslu dan KPU pada berbagai kesempatan, sosialisasi itu penting sekali kepada masyarakat. Sebab, mau mengajak masyarakat untuk melaksanakan fungsi pengawasan partisipatif, itu intinya bekal pengetahuan masyarakat terkait dengan pelanggaran dan bukan pelanggaran. Saya kira ini yang masih lemah di masyarakat kita,” jelasnya.

Berikutnya, menurut Amir, masyarakat perlu diberikan kekuatan hukum untuk melaporkan berbagai pelanggaran yang terjadi dalam pilkada. Masyarakat perlu diperkenalkan tentang metoda dan cara kerja untuk melapor, mengamankan diri, mengamankan nama dan sebagainya pada Bawaslu dan Gakkumdu.

“Itu harus diberikan jaminan kerahasiaan jati diri, sebelum perkara naik ke pengadilan. Pula diberikan jaminan keamanan. Karena banyak masyarakat yang belum tahu atau belum punya bekal signifikan tentang pelanggaran dan bukan pelanggaran. Ini di sisi aturan. Kemudian, banyak yang masih takut, kalau pun sudah ada yang tahu, tapi masih takut tentang jaminan keamanan dan sebagainya,” tuturnya.

Selain itu, Amir mengakui, kekuatan incumbent memang rata-rata memiliki (kekuatan) finasial, dan basic massa yang kuat. Sebab, lanjut dia, dewasa ini demokrasi electoral di Indonesia termasuk 4 pelaksanan pilkada di 4 kabupaten kemarin, secara prinsipnya sudah tergadai dalam lingkungan-lingkungan oligarkis dan kapitalis.

“Cuma siapa yang kuat bertambah lebih kuat. Yang seharusnya, kekuatan demokrasi itu dibagi merata kepada rakyat jelata, sehingga memiliki kesempatan yang sama. Oleh karena itu bisa terjaring orang-orang yang baik, orang-orang yang bisa berkomitmen untuk mengawal kepentingan masyarakat,” tambah dia.

“Masyarakat harus diberikan kesempatan, tapi sayangnya di Indonesia termasuk Maluku, arah demokrasi kita sudah dikuasai oleh kekuatan oligarkis dan kapitalis,” ungkapnya.

Ketahanan Internal Parpol Rapuh

Fungsi dan peran Parpol dalam mengawasi atau mengawal demokrasi misalnya perhelatan Pilkada 2020 lalu khusus di 4 kabupaten yakni Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru, Maluku Barat Daya, dan Buru Selatan, Menurut Amir Kotarumalos, parpol pun belum dewasa dalam berdemokrasi.

Hal itu tampak jelas ketika proses pemberian rekomendasi parpol kepada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah (bupati-wakil bupati).

“Saya bilang belum dewasa maksudnya dalam ketahanan fisik parpol. Yang terjadi adalah ketahanan fisik parpol ditentukan oleh ketahanan finasial (parpol). Rata-rata parpol belum mampu membangun kekuatan survivabilitas internal yang kuat, sehingga hanya menjadikan momen untuk electoral ini sebagai kekuatan, kesempatan untuk meminta mahar politik,” tambah Amir.

“Apalagi parpol-parpol yang belum kuat. Dengan mahar politik itu menjadi kekuatan dan tabungan parpol untuk lebih kompetitif kedepan dalam menjaring suara sebanyak-banyaknya. Intinya, saya melihat dari sisi ketahanan parpol masih rapuh/lemah dalam membangun kekuatan berdemokrasi,“ ulasnya.

Kekuatan demokrasi itu, lanjut Amir, bisa dibedakan antara money politic dan political money. Untuk mengembalikan kepercayaan publik apa yang harus dilakukan oleh parpol?

Ia menyarankan, Parpol harus membuka kesempatan, sama rata dan sama rasa. Karena sudah berjanji untuk tidak memberikan mahar untuk tidak menerima mahar. Maka Jajarannya harus ditertibkan, jangan sampai ada kekuatana internal parpol yang kemudian istilahnya merampok para kandidat tanpa sepengetahuan pimpinan parpol. Dengan alasan biaya ini dan itulah, memicu biaya politik menjadi naik.

Lebih jauh diterangkan, mahar politik naik itu kesempatan berkompetisi bagi berbagi kalangan. Dengan demikian, sudah kecil sekali kemungkinan. Tertutpnya kemungkinan, lanjut dia, itu berarti mempersempit ruang demokrasi electoral.

“Demokrasi electoral pintunya pemilihan umum/pilkada, kesempatan untuk merekrut pemimpin yang bermoral, berintegritas dan kredibel untuk memperjuangkan nasib rakyat. Membawa rakyat keluar dari kungkungan keterbelakangan apalagi kemiskinan,” tandasnya.

Politisi - Birokrasi tak Punya Konsep Entrepreneurship

Angka kemiskinan di Maluku kini bertambah. Itu artinya, masyarakat sudah sulit mendapat harapan dari pemimpin-pemimpin mereka. Kepemimpinan di masa pandemic, lanjutnya, bukan hanya untuk orang yang bisa melobi saja. Tetapi harus punya kekuatan perasaan, gagasan dan ide untuk mengkombinasi berbagai program walaupun di masa pandemic.

Menurut Amir, di samping pengendalian dan penuntasan Covid-19 berjalan, tapi masyarakat juga butuh makan. Di sini, perlu figure pemimpin di daerah baik pimpinan politik maupun birokrasi yang memiliki etos kerja yang baik, dan berpikiran entrepreneurship birokrasi itu juga kuat. Sebab, dengan kemampuan berpikir entrepreneurship dimaksud, walapun daerah diguncang Covid-19 tapi ada terobosan-terobosan untuk bertindak guna memberikan dukungan ekonomi bagi masyarakat.

Ia mencontohkan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada masa pandemic orang dibatasi untuk ke mana-mana. Waktu aktivitas singkat. Orang-orang disekat mulai lingkungan besar hingga kecil level kelurahan dan RT.

Kaum muda di Makassar itu memiliki jiwa usaha tinggi sekali untuk menopang ekonomi mereka. Pemda pun mengusahakan lahan-lahan usaha isolir dan tepat guna dan berhasil guna kepada mereka.

“Saya ambil contoh konteiner rusak, dipotong kemudian dibuat seperti kedai-kedai kopi seperti masa kini. ini memasang intensif usaha-usaha pemuda. Lalu Pemda mensponsori pembukaan areal dagang di lingkungan masing-masing. Ini berarti Pemda Kota Makassar, punya kemampuan entrepreneurship untuk menggiring masyarakatnya taat prokes, tapi jiwa usahanya tetap jalan dan dibangun juga oleh pemererintah,” kata Amir.

Hal ini butuh pikiran entrepreneurship dari birokrasi dan politik di daerah khususnya Maaluku. Kalau masyarakat dibiarkan diam seperti sekarang, tanpa konsep usaha yang jelas, otomatis orang pasrah di dalam kehidupan. Ini berarti memelihara kemiskinan dan akan selalu meningkat.

Menurutnya kondisi itu terjadi pada dua hal; keputusan politik dalam bentuk ekspresi dan diskresi melaksanakan aturan atau kebijakan dengan melihat celah yang boleh, maksudnya jangan melanggar UU.

Pihak birokrasi di Maluku termasuk Pemkab-Pemkot, kata Amir, sejauh ini belum punya konsep entrepreneurship sedikit pun. Yang ada hanya bekerja memburu waktu kerja dan tidak bisa berpikir bagaimana mendayagunakan kondisi lingkungan untuk melahirkan profit.

Khusus untuk kota Ambon, Amir menyarankan, Pemkot jangan dulu mengeluarkan biaya untuk bernyanyi-nyanyi. Sebab masyarakat sekarang bernyanyi untuk menenangkan hati, tapi lebih berusaha supaya kenyang, sehingga hati mereka juga bisa tenang.

“Kalau menyanyi saja, nanti timbul istilah logika tanpa logistic = anarkis. Situasi sekarang orang akan bertindak anarkis, jika lahan usaha tidak mendatangkan uang untuk membeli makanan guna menenangkan diri dan keluarga. Itu semua ada di entrepreneurship konsep yang harus diadopsi oleh para politisi dan birokrasi di daerah kita,” sentilnya.

Pilkada kedepan, diharapkan mampu melahirkan bupati-wakil bupati dan gubernur-wakil gubernur yang mampu melaksanakan konsep entrepreneurship birokrasi secara baik. “jika konsep itu ada dan dilaksanakan secara nyata, saya kira daerah mulai kabupaten-kota hingga provinsi kedepan akan tenang menangani masyarakatnya untuk hidup tenang.

Tingkatkan Melek Politik Masyarakat

Soal hasil pilkada tiga kabupaten di Maluku yang diputuskan di Maluku, menurut dia, semestinya masyarakat diberikan pencerahan, sehingga rasa tanggungjawab bisa meningkat. Bagaimana masyarakt mau melaporkan jika (masyarakat) tidak tahu pelanggaran?

Padahal memang ada yang memenuhi unsur PSM (pelanggaran sisitimik, massif). Tapi karena tidak ada saksi yang memegang bukti untuk melaporkan (pelanggaran) dalam jumlah yang massif, dan bisa membangun logika PSM itu untuk diusahakan maju ke pengadilan dan bisa dibuktikan.

Kota Lampung misalnya, kata Amir, pemenang pilkada bisa terdiskualifikasi, itu karena jasa masyarakat, dan bukan kerja Bawaslu semata. Masayarakat memberikan laporan dan bersaksi atas laporan itu dengan bukti-bukti yang jelas dan akurat.

“Kemudian ditindaklanjuti oleh Gakkumdu, lalu disimpulkan hasilnya diskualifikasi. Di sana membuktikan tingkat melek politik masyarakat paling tinggi. Orang muat kepentingan demokrasi itu sudah konsisten. Nah kita disini (Maluku) belum, masih jauh dari harapan,” ungkap Amir.

Ia menyarankan perhelatan pilkada di Maluku mulai level kabupaten-kota hingga provinsi kedepan, masyarakat harus memiliki daya melek politik yang tinggi.

“karena dengan daya melek politik yang tinggi itulah harus di perkuat dengan penguatan literasi politik. Literasi politik yang kuat mengisi jiwa masyarakt itu adanya melalui Pendidikan politik. Materinya sosialisasi, komunikasi, dan program-program penguatan pengetahuan politik masyarakat,” tegasnya.

Amir juga menyoroti soal tugas tentang penguatan literasi politik masyarakat yang terlihat seperti menjadi kewajiban yang dilakukan oleh Bawaslu, KPU, saja. Padahal, lanjut dia, itu merupakan fungsi-fungsi pokok dari parpol.

Pendidikan politik dan sosialisasi politik adalah fungsi parpol. Faktanya, terjadi distorsi yang luar biasa, sehingga yang terbentuk satu pemandangan, mau mensosialisasikan diri atau mensosialisasikan partai cuma menjelang pilkada/pemilu. Orang bisa mengenal parpol saat ada momentum saja. Ini sungguh mengganggu kemenangan demokrasi electoral masyarakat.

“Padahal, kerja parpol itu setiap saat. Sebab Parpol punya cabang di daerah, kemudian cabang di daerah itu melaksanakan berbagai fungsi. Yang paling inti adalah bagaimana (parpol) memperkenalkan diri, mensosialisasikan aturan, dan bagaimana mengkomunikasikan kepentingan partai dengan basis massanya. Kepentingan ini terkait dengan aturan bernegara,” pungkasnya. (BB-SSL)