Secara filosofis, mantan Pengacara Presiden Jokowi di MK RI pada saat sengketa Pilpres 2019 lalu itu menegaskan, inilah yang dimaksudkan untuk membangun Aparatur Sipil Negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat.

"Termasuk mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan, kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," terangnya.

Untuk itu, tambah Fahri Bachmid, idealnya penggantian Sekretaris Daerah oleh PPK lebih ditekankan pada perbaikan performa kerja, artinya salah satu aspek yang cukup signifikan yang biasanya dievaluasi oleh PPK kepada Sekda definitif adalah  sangat terkait dengan unsur-unsur yang strategis seperti kinerja yang dimaksudkan untuk mengakselarasi tugas pemerintahan.

“Tentunya, ini semua dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan, agar jauh lebih terukur serta kredibel, dan itulah basis pertimbangan serta intensi dibalik kebijakan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi oleh PPK,” urainya.

Selain itu, masih kata Fahri, instrumen hukum lainya adalah Undang-Undang RI nomor  23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal 213 mengenai Sekretariat Daerah, yang mana rumusan normanya mengatur jika Sekretariat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a dipimpin oleh sekretaris Daerah.

Maka konsekwensinya selain sebagai kepala daerah, gubernur juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang tentunya telah diperlangkapi dengan sejumlah atribusi kewenangannya, termasuk soal pengisian maupun penggantian pejabat pimpinan tinggi madya atau Sekda,

“Itulah desain hukum sekaitan dengan proses pengisian maupun penggantian Pimpinan Tinggi Madya/Sekda,” pungkasnya (BB-RED)