BERITABETA.COM, Ambon  – Program Lumbung Ikan Nasional (MLIN) dan  Ambon New Port (ANP) di Provinsi Maluku  dinilai merupakan sebuah kewajiban yang harus dijalankan Pemerintah Pusat [Pempus] sebagai sebuah kebijakan desentralisasi asimesris.

Pendapat ini disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H, menanggapi maraknya perdebatan dan pemberitaan seputar dua Program Strategis Nasional yang dicanangkan Presiden Jokowi ini.

“Hal ini tidak semata dilihat secara teknis kebijakan. Lebih ebih jauh hal ini erat kaitannya dengan hakikat serta spirit konstitusi dalam urusan penyelengaraan negara sebagaimana diatur dalam norma Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” ungkap Fahri dalam siaran persnya yang diterima beritabeta.com, Selasa malam (29/3/2022).

Menurut Fahri, perdebatan seputar dua program  ANP dan LIN yang selama ini terjadi merupakan sebuah diskursus yang lumrah, sebab ini terkait dengan urusan hajat hidup orang banyak, sehingga menjadi sangat sensitif serta atensi dari berbagai pihak.

Disebutkan, dalam pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah jelas mengatur bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar”.  Rumusan konstitusional tersebut merupakan norma yang secara expressis verbis, wajib dijalankan oleh Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.

“Sepanjang yang berkaitan dengan pelaksanaan rezim pemerintahan daerah, maka tentu konstitusi telah memberikan panduan serta batasan yang tegas dan jelas tentang politik hukum kebijakan negara dalam prinsip pengelolaan teknis kepemerintahan,” beber dia.

Lebih lanjut, kata Fahri hal ini dapat dilihat pada pengaturan sebagaimana terdapat dalam rumusan ketentuan Pasal 18A ayat 1 yaitu : hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undangundang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

Selanjutnya ketentuan ayat 2 disebutkan bahwa “hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang”.

Ia berpendapat bahwa konsekwensi terhadap pola pendekatan serta alat kebijakan yang diambil oleh negara dalam memperlakukan daerah secara berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Untuk itu, tambahnya, maka gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan. Namun justru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur dan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.

“Hakikatnya pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodir setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang kultural serta historis masing-masing daerah ke dalam sistem politik kebijakan nasional,”bebernya.

Hal ini,  mengingat setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara memiliki struktur dan anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam, untuk itu konstruksi desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris). Maka asymmetrical decentralization menjadi opsi yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap Pempus.

Itulah sebabnya, kata Fachri, baik di negara kesatuan maupun di negara federal, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan.