Indeks Kemerdekaan Pers Merosot, Kekerasan dan Kriminalisasi Jadi Pemicu
“Tak sedikit media yang mengandalkan pemasangan iklan dan berita berbayar pemerintah daerah, penggunaan APBD sebagai sumber pemasukan utama, sehingga mereka rentan terkooptasi oleh kepentingan pemerintah daerah setempat,” ungkapnya.
Di samping itu, kata dia, survei IKP 2023 mendapati banyak perusahaan pers yang “merasa berat untuk membayar upah karyawan, termasuk wartawannya, minimal sesuai upah minimum provinsi.”
“Media seperti ini tidak memiliki bargaining position cukup kuat berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan politik dari luar,” lanjutnya.
Selain mengukur IKP nasional, Dewan Pers juga mengadakan survei di level provinsi, dengan temuan kondisi kemerdekaan pers yang belum merata.
Dewan Pers menemukan rentang nilai yang cukup besar, sekitar 20 poin antara provinsi dengan nilai terendah dengan yang tertinggi.
Nilai IKP Provinsi tertinggi adalah 84,38 dan yang terendah 64,01, sementara nilai rata-rata dari 34 provinsi adalah 75,69.
Nilai rata-rata tersebut, yang menurun di 24 provinsi dan meningkat di 10 provinsi, turun 3,02 poin dibandingkan tahun 2022.
Kalimantan Timur mencatat nilai tertinggi (84,38), disusul Jawa Barat (83,02), Bali (82,58), Kalimantan Utara (982,42), dan Kalimantan Tengah (81,05).
IKP provinsi terendah diduduki Papua (64,01), Papua Barat (68,22), Lampung (69,76), Sumatra Selatan (70,83), dan DKI Jakarta (71,73).
Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers mengharapkan, hasil survei ini dapat memberi gambaran yang sesungguhnya tentang kondisi kemerdekaan pers di Tanah Air.
Ia mengatakan, selama lima tahun terakhir sejak 2018 hingga 2022, nilai IKP nasional cenderung meningkat. Artinya, situasi kemerdekaan pers direpresentasikan membaik.
“Hal itu sempat memunculkan pertanyaan sejumlah kalangan, terutama apabila disandingkan dengan hasil survei IKP yang dilakukan lembaga internasional. Demikian pula bila dikaitkan dengan indeks demokrasi yang memberikan alarm untuk perbaikan sistemik yang memerlukan perhatian bersama,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pers saat ini menghadapi banyak tantangan berat. Selain kondisi ekonomi yang tidak mudah, kata Ninik, pers juga menghadapi perkembangan teknologi informasi, seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence, Chat GPT, yang menuntut penyikapan secara bijak dan kritis.