Indonesia Gagal Hentikan Deforestasi dan Capai Target FoLU

Kebijakan Kemenhut melalui Permen LHK No. 7/2021 Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan bahkan membuka ruang tambang di pulau kecil tanpa batasan luas, bertentangan dengan UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI tahun 2023 yang membatasi pemanfaatan di pulau kecil.
Revisi UU Kehutanan: Momentum Menentukan Nasib Hutan Indonesia
RUU Kehutanan dalam Prolegnas 2025 diperingatkan oleh akademisi pemerhati lingkungan agar tidak mengakomodasi kepentingan politik yang memasukkan pasal-pasal kontroversial dari Permen LHK No. 7/2021, turunan UU Cipta Kerja.
Narasi pembangunan seperti swasembada pangan, tambang di pulau kecil, dan transisi energi dikhawatirkan hanya melanggengkan kerusakan hutan di tingkat tapak. UUK harus berubah secara paradigmatik.
Prof. Agustinus Kastanya, akademisi Unpatti, mengkritik paradigma lama UU Kehutanan yang bersifat kolonial dengan asas domein verklaring—mengklaim hutan sebagai milik negara. Kemenhut telah menetapkan 106 juta hektare dari 125 juta hektare sebagai kawasan hutan, mencakup sekitar 66% ruang hidup masyarakat.
“Bahkan, 62% pulau kecil di Indonesia merupakan kawasan hutan. Namun, tata kelola kawasan hutan mengalami disorientatif dan destruktif karena memaknainya sebagai komoditas,” ujarnya.
Dr. Andi Chairil Ichsan (Universitas Mataram) menilai perlu redefinisi istilah seperti hutan, kawasan hutan, deforestasi, cadangan pangan, dan energi. Dalam regulasi turunan UUCK seperti Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 dan Permen LHK Nomor 07/2021, kawasan hutan diperlakukan sebagai komoditas untuk proyek pangan, energi, tambang, dan tanaman monokultur. Definisi deforestasi sengaja dibuat kabur untuk menutupi kerusakan hutan di lapangan.