Kesimpulan

Pertama; orang Maluku sebagai satu komunitas sosial yang heterogen telah memiliki keragaman suku, budaya, agama dan adat istiadat dan jika hal ini tidak dikelola secara baik, benar dan sehat maka akan berpeluang besar terjadinya konflik komunal.

Heterogenitas ini dapat menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu mengganggu stabilitas keamanan dan keutuhan dan persatuan orang Maluku sendiri.

Kedua; otonomi daerah merupakan kebijakan politik yang sangat baik dalam membangun kemandirian daerah dalam proses pembangunan, akan tetapi sangat berpotensi untuk terciptanya sikap fanatisme primodialisme yang sempit, sektarianisme serta supranasionalisme. Kondisi semacam ini terjadi karena tidak semua masyarakat mengetahui tujuan pemberlakuan otonomi daerah secara benar, tepat dan proporsional.

Ketiga; harus dipahami dengan benar bahwa masyarakat Maluku ini terbentuk dalam suatu keragaman yang sudah ada sejak awal. Untuk itu perekat utama keberlanjutan kehidupan persaudaraan orang Maluku, harus diletakan pada akar sejarah yang benar dan saling berinterakasi secara selaras dan seimbang;

Keempat; Dalam rangka membangun kehidupan orang Maluku  yang lebih baik, santun dan bijak di masa depan, maka langka utama yang harus ditempuh adalah menggunakan Konsepsi Kemandirian Lokal yaitu dengan melakukan pendekatan sejarah dan kebudayaan Maluku yang dapat diyakini mampu menumbuhkan kebanggaan pada setiap anak Maluku dimana saja, dan kapan saja terhadap diri dan budayanya pada giliranya akan menumbuhkan pula toleransi dan pengertian akan keberadaan budaya lainnya (***)