Kadis LH Maluku : Fasilitas yang Dibangun di Suli Untuk Pengolahan Limbah B3, Buka TPA

BERITABETA.COM, Ambon - Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Roy Corneles Siauta, menegaskan pembangunan fasilitas yang dilaksanakan di Desa Suli, Kabupaten Maluku Tengah adalah pembangunan fasilitas pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) medis berupa Insinerator, bukan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Hal itu dia tegaskan untuk mengklarifikasi informasi simpang siur yang diberitakan sejumlah media beberapa hari terakhir.
"Perlu kami jelaskan bahwa rencana kegiatan yang dilaksanakan di Desa Suli, Kecamatan Salahutu adalah pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 medis berupa Insinerator, bukan pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah," kata Roy Corneles Siauta, melalui rilisnya yang diterima beritabeta.com di Ambon, Rabu (27/10/21).
Dia mengatakan, prinsip kerja Insinerator tidak dapat disamakan dengan TPA sampah, lantaran memiliki perbedaan dalam pengoperasiannya.
"Insinerator adalah alat pembakaran untuk mengolah limbah padat yang mengkonversi materi padat menjadi materi gas dan abu (botton ash and fly ash)," katanya.
Dikatakan, prinsip kerja Insinerator adalah sebagai tempat pembakaran tertutup dengan suhu tinggi di atas 800 derajat Celcius, sehingga bahan yang dibakar tidak dapat didaur ulang lagi.
Proses pengelolaannya, kata dia, limbah yang telah dikemas dan ditutup atau diikat rapat sejak dari sumbernya kemudian dimusnahkan dalam Insinerator melalui tiga tahapan insinerasi (pembakaran), yakni pertama, membuat kandungan air yang masih ada dalam limbah menjadi uap. Hasilnya limbah menjadi kering yang akan siap terbakar pada suhu 105 derajat Celcius.
Tahap kedua, terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna yang terjadi pada temperatur suhu 105 derajat celcius sampai 300 derajat celcius.
Tahap ketiga, pembakaran sempurna dengan suhu di atas 800 derajat celcius, yang mengakibatkan semua materi menjadi abu.
"Abu dari sisa pembakaran kemudian diangkat dan disimpan di TPS untuk selanjutnya dikirim ke pihak ketiga berizin di Pulau Jawa, untuk dikelola lebih lanjut," kata Siauta.
Dia menegaskan, dengan demikian tidak ada limbah hasil pengelolaan yang terbuang ke lingkungan yang berpotensi menyebabkan pencemaran.
Menurut dia, TPA adalah wadah/lokasi yang digunakan untuk membuang sampah yang merupakan tahap akhir dalam pengelolaan sampah. Sistem pemrosesan pada TPA antara lain penumpukan sampah pada lahan galian, kemudian ditimbun dengan tanah secara berlapis, sehingga sampah tidak berada di alam terbuka.
“Sampah yang ditimbun akan mengalami perubahan fisik, kimia dan biologis secara simultan, di antaranya menghasilkan cairan yang disebut Lindi, berasal dari infiltrasi air hujan ke tumpukan sampah di TPA," ujarnya.
Apabila Lindi yang dihasilkan tidak tertangani secara baik, akan menyebabkan terjadinya pencemaran air di bawah tanah dan air permukaan.
Dengan demikian, kata dia, pemberitaan akan adanya pencemaran sumber air di lokasi kegiatan adalah tidak benar. Fasilitas yang dibangun adalah Insinerator, bukan TPA sampah.
“Sistem pengelolaan Insinerator berbeda dengan TPA, sehingga penyebutan sistem pengelolaan limbah B3 menggunakan Insinerator sebagai TPA limbah B3 adalah keliru dan tidak berdasar secara ilmiah," ungkapnya.
Roy Siauta menjelaskan, pembanguan fasilitas pengelolaan limbah menggunakan Insinerator diperuntukan bagi penanganan limbah B3 medis dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) di Provinsi Maluku.
Hal ini merupakan kebijakan pemerintah sebagai upaya penanggulangan keadaan kedaruratan di masa pendemi Covid-19, yang telah ditetapkan sebagai bencana non alam dalam Kepres nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.
Dikatakan, mengingat tingginya tingkat penyebaran virus corona yang berimbas pada meningkatnya jumlah limbah B3 medis, termasuk limbah covid-19 yang harus dikelola, sehingga tidak memperpanjang mata rantai penyebarannya, maka Pemerintah Pusat memprioritaskan provinsi Maluku untuk dibangun fasilitas tersebut.
Pembangunan tersebut juga didasari pertimbangan bahwa Provinsi Maluku tidak memiliki Insinerator dengan fasilitas memadai untuk pengelolaan limbah B3.
Selain itu, kondisi wilayah Maluku yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan terhadap pencemaran, serta jauh dari pusat pengelolaan sampah yang berada di Pulau Jawa, menjadi alasan dibangunnya fasilitas tersebut.
Dikatakan, limbah B3 medis dari fasyankes yang diproses dalam Insinerator adalah barang atau sisa hasil kegiatan yang tidak digunakan lagi, yang berpotensi terkontaminasi oleh zat yang bersifat infeksius, berupa masker, sarung tangan, perban, tisyu, alat suntik, set infus, alat pelindung diri dan barang padat lainnya yang semuanya bekas dipakai, dan bukan limbah cair.
"Oleh karena itu, informasi yang beredar di masyarakat bahwa di lokasi tersebut akan dijadikan TPA sampah yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan adalah tidak benar," kata Siauta.
Dia menjelaskan, Undang-Undang (UU) nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang telah diubah Dengan UU nomor 11 tahun 2019 tentang Cipta Karya, menyebutkan, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting bagi lingkungan wajib dilengkapi dengan dokumen lingkungan.
Jenis dokumen lingkungan yang wajib dimiliki oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan disesuaikan dengan skala atau besaran suatu usaha dan/atau kegiatan.
Di dalam Lampiran I PermenLHK nomor 4 tahun 2021 disebutkan, untuk jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 dengan menggunakan Insinerator merupakan kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Di dalam lampiran yang sama pula, untuk jenis kegiatan konstruksi bangunan dengan skala besaran luas lahan terbangun di bawah satu hektar, dan luas bangunan terbangun di bawah 10.000 meter bujursangkar masuk dalam skala/besaran Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemanfaatan Lingkungan (UKL UPL).
Roy Siauta menuturkan, pihaknya telah bekerja sesuai yang diamanatkan dalam Lampiran I PermenLHK nomor 4 tahun 2021 tersebut. Di mana pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 termasuk dalam jenis kegiatan konstruksi bangunan yang wajib UKL UPL.
Sedangkan untuk operasionalnya termasuk dalam kegiatan yang wajib AMDAL. Dengan demikian, sebelum fasilitas tersebut dioperasikan, akan didahului dengan penyusunan dokumen AMDAL.
Selain itu, untuk kondisi kedaruratan dan bencana, dimungkinkan kegiatan dapat dilaksanakan mendahului penyusunan dokumen lingkungan. Dengan demikian, pemberitaan media terkait kesalahan prosedur dalam pemenuhan dokumen lingkungan adalah tidak benar.
“Saat ini kegiatan masih pada tahap konstruksi dan telah dilengkapi dengan dokumen UKL UPL," ungkap Siauta.
Dia menuturkan, persoalan uji coba penggunaan Insinerator yang dimaksud dalam dokumen UKL UPL merupakan bagian dari rangkaian konstruksi pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 yang disebut uji atau test comisioning, yaitu kegiatan pemeriksaan dan pengujian mesin serta instalasinya sebelum dioperasikan. Hal itu bertujuan untuk memastikan instalasi telah memenuhi standar operasi.
"Jadi tidak benar jika menyimpulkan bahwa uji coba penggunaan Insinerator termasuk dalam kegiatan operasional pengelolaan limbah B3. Yang benar adalah kegiatan uji coba tersebut merupakan bagian dari konstruksi pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3,”pungkasnya.
Ia menjelaskan, kajian dampak lingkungan dan arahan pengelolaan, serta pemantauan lingkungannya wajib dilakukan dalam satu kajian di dalam dokumen UKL UPL.
Pada Sabtu, 24 Juli 2021, pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat terkait rencana pembangunan proyek dimaksud. Sosialisasi diberikan hanya kepada beberapa warga sebagai perwakilan dari masyarakat Desa Suli, mengingat situasi pandemi Covid-19 yang tidak mengizinkan terjadi kerumunan. Apalagi saat itu tengah diberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
"Oleh karena itu, tidak benar jika diberitakan bahwa tidak dilakukan sosialisasi kepada masyarakat," kata Siauta.
Sementara terkait pemberitaan potensi pencemaran udara terhadap pemukiman warga, lahan UKIM dan Objek wisata Talaga Tihu yang berdekatan dengan lokasi pembangunan proyek itu, Roy Siauta lantas menjelaskan kondisi rill di lapangan.
"Lokasi kegiatan merupakan daerah terbuka dengan elevasi ketinggian lebih dari pemukiman warga, lahan UKIM dan Objek wisata Talaga Tihu. Jaraknya dengan lahan UKIM berkisar 200 meter, dengan pemukiman warga berkisar 600 meter, dan dengan objek wisata Talaga Tihu lebih dari 1.000 meter," ujarnya.
Selain itu, kata dia, tinggi cerobong Insinerator yang akan dibangun adalah 34 meter. Angka itu telah melebihi standar teknis minimal 14 meter yang tertuang dalam PermenLHK nomor 56 tahun 2015, dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8243 tahun 2017 tentang Insinerator, yang mensyaratkan ketinggian minimal 6 meter dari permukaan tanah.
"Dengan demikian, gas buangan yang akan dikeluarkan melalui cerobong memiliki radius yang jauh dari pemukiman warga, lahan UKIM dan lokasi wisata Talaga Tihu. Artinya, secara teknis telah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk meminimalkan potensi pencemaran udara," katanya.
Pengelolaan limbah B3 medis juga dilengkapi Standard Operating Procedure (SOP). Di mana, limbah tersebut ketika diambil dari fasyankes, telah dikemas sesuai standar. Limbah itu kemudian diangkut menggunakan mobil box, mobil khusus pengangkut limbah B3.
Selanjutnya dimasukan ke dalam cold storage, sebelum dibakar secara thermal dengan sistem insinerasi. Didukung pula sistem pengelolaan dengan multiple chamber, wet scrubber dan cylone untuk mengendalikan emisi gas hasil pembakaran.
"Sistem operasionalnya ini akan dipantau 3 bulan sekali untuk memastikan bahwa emisi gas buangan yang keluar melalui cerobong tidak melebihi baku mutu," kata Siauta.
Insinerator yang akan digunakan di Desa Suli telah terstandarisasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI sebagai teknologi ramah lingkungan.
Pada tahap operasional, kegiatan ini akan diawasi oleh lembaga berwenang bersama masyarakat, sesuai peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup.
"Dengan demikian, kekhawatiran warga terkait gangguan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan udara tidak memiliki alasan mendasar. Hal ini disebabkan sistem pengelolaan dari fasilitas pengelolaan limbah B3 sesuai standar dan prosedur yang ketat," ujarnya.
Sebelumnya, diberitakan bahwa warga Desa Suli menolak rencana pembangunan Insinerator fasilitas pengelolaan limbah B3.
Penolakan mereka itu didasari sejumlah alasan dan pertimbangan yang semuanya mengerucut pada dampak negatif kehadiran proyek itu bagi pemukiman dan lingkungan hidup di Desa Suli.
Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku (MPHS GPM) juga melakukan hal yang sama melalui media.
MPHS GPM secara tegas menolak rencana pembangunan itu melalui dokumen resmi berjudul Evaluasi Lapangan dan Dokumen UKL UPL Pembangunan TPA Limbah B3 Fasilitas Kesehatan Provinsi Maluku di Suli, Kabupaten Maluku Tengah.
Dalam dokumen itu dijelaskan, penolakan GPM didasari kajian dan evaluasi mendalam terhadap dokumen UKL UPL proyek tersebut, di mana ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Roy Siauta mengatakan, kajian akademik yang dibuat oleh MPHS GPM sangat tidak didasari pada kajian ilmiah. Hal itu dibuktikan dengan objek yang dikaji maupun pendapat ahli, serta teori -teori yang dipakai adalah dalam konteks untuk pembangunan TPA sampah.
Dia kembali menegaskan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI di Desa Suli adalah fasilitas pengelolaan limbah B3 medis menggunakan Insinerator, yang sistem maupun mekanisme pengelolaan, serta pengoperasiannya berbeda.
"Kajian MPHS GPM seperti ini dapat membangun persepsi dan opini masyarakat yang keliru terhadap proses pembangunan yang menjadi kebutuhan daerah, bagi kepentingan masyarakat Maluku," katanya.
Dia mengungkapkan, sebelum hasil evaluasi lapangan dan kajian akademik MPHS GPM itu dipublikasikan, dirinya telah lebih dahulu mendatangi Tim Kajian MPHS GPM melalui Pdt. Veky Kainama di Kantor Sinode GPM, pada 11 Oktober 2021 lalu.
Kedatangannya itu untuk menjelaskan tentang rencana kegiatan pembangunan Insinerator limbah B3, jenis limbah dan sistem penanganannya, kronologi pemindahan lokasi kegiatan dari Wayame ke Desa Suli, proses penyusunan dokumen lingkungan, dan pelaksanaan keterbukaan informasi kepada masyarakat melalui sosialisasi.
Roy Siauta berharap penjelasannya ini dapat menjernihkan segala informasi dan pemberitaan yang beredar di masyarakat terkait rencana pembangunan fasilitas pengelolaan limbah B3 dari fasyankes Provinsi Maluku (*)
Pewarta : Rosny Marasabessy