Setelah hutan-nya dibabat, disusul terpaan banjir bandang pada 6 Agustus 2021 lalu, Desa Sabuai, Kecamatan Siwalalat kini punya ‘kambing hitam’.  ‘Kambing hitam’ itu salah satunya bernama media elektronik (media massa).

Media massa yang selama ini diakui konstitusi sebagai ‘pilar keempat demokrasi’ harus jatuh tersungkur dan divonis sebagai ‘kambing hitam’ dalam sebuah tragedi lingkungan.

Media jenis ini dinilai berperan di luar koridor dengan membesar-besarkan isu tentang banjir di Desa Sabuai yang malang itu. Kira-kira demikian kesimpulan dari sebuah statemen yang dilontarkan salah satu pejabat teras di Kabupaten Seram Bagian Timur.

Sang pejabat lalu menghimbau agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan informasi yang disebarkan.

“Saya berharap masyarakat jangan terlalu terprovokasi dengan informasi pada media sosial dan media elektronik yang membesar-besarkan banjir Sabuai”

Serasa disambar petir. Seorang kawan mengaku kaget dengan apa yang diungkapkan sang pejabat. Ia juga mengaku kecewa kepada sang pejabat. “Kok bisa kita disalahkan,”?

Apakah media elektronik adalah tersangka tunggal? Tentu tidak. Sang pejabat, juga menyebut media sosial. Kedua jenis media ini dinilai ikut membesar-besarkan informasi tentang kasus Sabuai.

Seakan kedua jenis media ini sama dalam prakteknya. Selaku kaum yang mendiami habitat media massa, tentu tidak akan menerima disamaratakan.

Media sosial dan media massa (media elektonik) memang sama-sama sebagai media publikasi dan bisa diakses secara terbuka (umum). Namun dari sisi bentuk, mekanisme dan kelembagaan, kedua media ini jauh berbeda.

Media sosial adalah platform jejaring sosial yang umumnya dimanfaatkan pengguna internet secara pribadi untuk beragam kepentingan –personal. Pendeknya, seisi dunia ini bisa menggunakan media sosial.

Lain hal dengan media massa. Media massa adalah media reporting. Media yang  menghimpun para kaum jurnalis. Meraka bekerja melaporkan peristiwa dalam konteks jurnalisme, sesuai kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.

Semoga sang pejabat keliru dengan pernyataan di atas. Bila tidak merasa keliru, mungkin saja sang pejabat lupa akan masa -masa yang baru saja berlalu.

Ya sudahlah apapun itu, lebel ‘kambing hitam’ sudah kita sandang. Tapi sebagai kaum yang berada di wahana yang professional, tentu kita masih berharap ada  angin segar untuk meluruskan pernyataan di atas.

Sebab, kalimat media elektronik itu cakupannya sangat luas. Apalagi dalam konteks kasus Sabuai, bukan saja satu dua media yang memberitakan peristiwa itu.

Peristiwa meng-kambinghitam-kan pers dalam masalah urgen seperti ini, tentu bukan yang pertama kali terjadi. Bahkan ada pejabat negara pun pernah kecolongan dengan menyampaikan pernyataan serupa.

Mantan Menko Polhukam, Wiranto pernah ‘terpeleset lidah‘ dengan pernyataan yang sama. Bahkan pernyataannya lebih dahsyat, karena bukan saja memvonis, tapi sudah pada tataran ingin menghentikan pertumbuhan media massa.

Pada  tahun 2019 silam, Wiranto dengan keras menyampaikan ancaman akan  menutup media massa dan  akun-akun media sosial yang mengandung ujaran kebencian, radikalisme, pornografi, serta hasutan.