Melalui persepsi menubuh, perempuan akan menemukan bahwa diskriminasi-diskriminasi yang dilayangkan pada dirinya adalah hasil konstruksi sosial saat ia berada di dalam ruang penjara patriarki. Begitupun dengan seksualitas, melalui persepsi menubuh, perempuan akan menyadari bahwa kepantasan seksualitasnya di dalam ruang penjara patriarki juga merupakan buah dari konstruksi sosial.

Berangkat dari kesadaran mempersepsi tubuhnya secara kritis di dalam penjara patriarki itulah maka ia dapat meraih kemerdekaan paripurna di kemudian hari. Melalui persepsi tentang tubuhnya secara mandiri, maka perempuan akan menyadari bahwa tubuhnya sekarang merupakan hasil konstruksi sosial dengan kebenaran yang masih relatif. Sebab itulah maka perempuan akan berusaha menggugatnya untuk “menjadi perempuan seutuhnya – becoming a women” di kemudian hari.

Istilah “menjadi perempuan” bukan berarti perempuan harus menjadi “superwoman”, melainkan perempuan yang betul-betul merdeka memutuskan pilihannya sendiri mau seperti apa, bekerja dimana, mampu mengutarakan pendapat rasionalnya di depan umum, serta mampu menampilkan hak dan kewajiban politisnya, ini semua tanpa menggugurkan kodratnya sebagai makhluk menyusui dan melahirkan.

Kemerdekaan perempuan di dalam penjara patriarki bisa diraih dengan cara seperti ulasan tersebut, yakni melalui persepsi menubuhnya sendiri. Dengan demikian maka perempuan tidak akan terus menjadi objek eksploitatif laki-laki, sehingga hal ini bisa menyelesaikan permasalahan kekerasan terhadap perempuan yang belakangan ini terus meningkat setiap tahunnya (*)