Bahkan, perempuan juga dipersepsikan tidak bisa melakukan pengambilan keputusan, tidak punya kemampuan merasionalisasikan sesuatu hal, dan bahkan juga tidak bisa mengutarakan hak politiknya di depan banyak orang. Perempuan semakin terkurung di dalam penjara patriarki yang lahir dari konstruksi sejarah.

Persepsi sosial tentang eksistensi tubuh perempuan yang lemah itu terus bertahan hingga era mendatang, dan mengakar kuat dalam argumentasi para filsuf dari zaman Yunani hingga abad Pencerahan. Salah satu filsuf Yunani, Plato, yang pendapatnya sudah saya singgung di atas adalah contohnya. Dia berpandangan bahwa peran perempuan itu lemah secara fisik, sehingga wajar menjadi objek eksploitasi laki-laki demi kelancaran reproduksi. Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis beraliran eksistensialisme juga memposisikan perempuan tak lebih dari benda yang diistilahkannya ‘the others'.

Argumentasi-argumentasi itu menunjukkan bahwa kuatnya segregasi peran perempuan dan laki-laki ini mulai muncul saat persepsi sosial tentang tubuh perempuan sebagai manusia-minor, yang hal ini kemudian melanggengkan budaya patriarki semakin kokoh dan kuat. Budaya ini merupakan hasil konstruksi sejarah yang didalamnya terdapat kontestasi persepsi sosial tentang tubuh perempuan.

Sebagai konstruksi sejarah, tentu budaya patriarki tidak bisa lepas dari proses sinkronik-diakronik yang akan berusaha mendebatnya secara terus menerus hingga sekarang.

Upaya menggugat budaya patriarki bermula ketika Sigmund Freud mengemukakan teorinya tentang ‘penis envy'. Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan dan perasaan inferior yang dirasakan perempuan adalah karena ia (si perempuan) mempersepsikan tubuhnya tidak memiliki penis seperti laki-laki. Cetusan teori ini yang nantinya melahirkan gerakan feminim untuk menggugatnya.

Teori itu bagi aktivis feminim adalah bibit-bibit dari pandangan budaya patriarki yang tumbuh di otak Sigmund Freud. Meskipun aksi protes cukup kuat mengarah pada Freud, namun teorinya tentang ‘penis envy' ini secara tidak langsung memicu munculnya refleksi untuk mempersoalkan, “Apakah karena tubuh perempuan sudah terlanjur berada di dalam penjara patriarki sehingga ia mau-tak-mau harus mempersepsikan dirinya inferior akibat ketiadaan penis? Bagaimana perempuan mempersepsikan tubuhnya yang sesungguhnya di dalam penjara patriarki?”.

Sederet pertanyaan reflektif itu yang mendorong aktivis feminim semakin termotivasi mendebat budaya patriarki yang terlanjur kokoh. Pertanyaan gugatan itu menunjukkan bahwa hadirnya budaya patriarki bukanlah sesuatu yang ‘taken for granted'.