Budaya ini telah membuka ruang diskursus yang jauh lebih kompleks, terutama tentang bagaimana perempuan mempersepsikan tubuhnya sendiri sebagai langkah awal dirinya menampilkan ekspresi kemerdekaannya di dalam penjara patriarki.

Kemerdekaan Perempuan

Sejauh ini, persepsi mengenai tubuh perempuan cenderung terkurung di dalam persepsi sosial tentangnya. Perempuan tidak punya kemerdekaan mempersepsikan tubuhnya sendiri. Kalaupun perempuan berusaha mempersepsikan tubuhnya, maka hasilnya pun kerap terkontaminasi oleh persepsi sosial tentangnya sebagai makhluk lemah, alias eksistensi perempuan di dunia hanya untuk melahirkan dan menyusui saja. Begitulah persepsi sosial tentang perempuan.

Meskipun melahirkan dan menyusui merupakan kodrat perempuan yang tak bisa kita bantah, namun beranjak dari dua hal itulah maka perempuan dipersepsikan secara sosial sebagai manusia yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya alat pelengkap bagi reproduksi laki-laki.

Persepsi sosial yang mengurung perempuan itulah sehingga membuatnya tidak bisa mandiri memutuskan pilihannya sendiri. Kebebasan memutuskan pilihan disini tidak berarti perempuan memilih melepaskan kodratnya sebagai insan menyusui dan melahirkan, melainkan kebebasan pilihan itu lebih mengenai peran keperempuanannya di tengah pergaulan sosial.

Misalnya, kemerdekaan perempuan memilih bekerja di sana atau di sini, kemampuan mengutarakan rasionalitasnya di hadapan publik, serta mampu menampakkan hak serta kewajiban politisnya.

Kemerdekaan perempuan bisa terwujud apabila ia secara mandiri mempersepsikan tubuhnya sendiri tanpa terpengaruh persepsi sosial sebagai penjara patriarki terhadap dirinya. Kemerdekaan perempuan mempersepsikan tubuhnya sendiri bisa dimulai dari ia mempersoalkan kepantasan persepsi sosial tentang tubuhnya dalam aspek seksualitas dan ruang.