Kepastian Hukum Sopi dan Dampaknya Terhadap PAD dan Perekonomian Rakyat
Oleh: Ernie. J . Mirpey, SE (Sekum Angkatan Muda Pattimura Provinsi Maluku)
TULISAN ini dibuat seiring dengan maraknya pemberitaan mengenai wacana pro dan kontra legalitas minuman beralkohol dalam hal ini Sopi di Maluku. Negara bertanggung jawab sepenuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Jaminan tersebut secara tegas dinyatakan dalam batang tubuh UUD NKRI 1945 dan juga telah sejalan serta searah dengan tujuan Nasional Bangsa Indonesia, yang berbunyi : 1) Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) Memajukan kesejahteraan umum; 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
Memajukan kesejahteraan umum tidak hanya mempunyai aspek lahiriah atau pembangunan fisik semata tetapi juga aspek batiniah yaitu aspek kejiwaan manusianya. Disamping pula yang tidak kalah pentingnya yaitu aspek kognitif dalam bentuk kecerdasan.
Ini artinya bahwa hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal serta lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan kebutuhan manusia yang menjadi hak asasi yang harus dihormati dan dipenuhi oleh Pemerintah Negara dalam konteks melindungi kehidupan segenap bangsa Indonesia. Pemenuhan keseluruhan hak asasi manusia termasuk hak asasi untuk memperoleh hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal serta lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan Kewajiban Negara dan tanggung jawab Pemerintah.
Negara dan tanggung jawab Pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah.
Untuk memastikan dilaksanakannya hak asasi warga Negara yang terdapat dalam Pasal 28I ayat (4) oleh Pemerintah, maka saya mencoba mengaitkannya dengan Wacana pro dan kontra legalitas minumasn khas tradisional beralkohol dalam hal ini sopi yang akhir-akhir ini marak dibicrakan.
Kata Sopi berasal dari bahasa Belanda “zoopje” artinya alkohol yang cair (beta Kompasiana beyond Blogging). Di Maluku, Sopi adalah salah satu minuman khas tradisional yang dikonsumsi masyarakat sejak dahulu kala, digunakan pada upacara adat serta ritual keagamaan serta juga digunakan pada saat penjemputan para pejabat. Salah satu contohnya adalah di Kabupaten Maluku Barat Daya (asal daerah penulis), maka bagi penulis budaya adat suguhan sopi tersebut merupakan kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita secara turun temurun yang harus dijaga kelestariaannya.
Secara ekonomis Sopi merupakan salah satu sumber pendapatan masyarakat di beberapa daerah tertentu, misalnya masyarakat di Kabupaten Maluku Barat Daya, sebagian besar masyarakat memenuhuhi kebutuhan rumah tangganya dengan memperdagangkan Sopi. Untuk itu, tidaklah heran jika mereka menyekolahkan anaknya hingga mendapatkan gelar sarjana bahkan gelar profesor melalui hasil perdagangan sopi.
Namun sangat disayangkan bahwa tanpa lebel, komuditas Sopi ini memiliki harga yang sangat rendah jika dibandingkan dengan minuman alkohol berlebel. Tanpa menggunakan lebel inilah maka minuman ini selalu menjadi sasaran aparat keamanan (polisi) karena dianggap sebagai penyebab berbagai kejahatan kriminal, KDRT, kejahatan seksual berbasis gender, tawuran serta kejahatan lainnya sehingga berdampak pada razia dan pemusnahan Sopi.
Pertanyannya apakah benar berbagai kejahatan tersebut merupakan akibat dari mengkonsumsi Sopi ? Apakah dengan memusnahkan Sopi yang adalah mata pencaharian masyarakat maka tidak terjadi lagi tindak kejahatan kriminal dan sebagainya, serta masyarakat akan berhenti untuk memproduksi Sopi?. Menurut saya tidak. Dan hal tersebut tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, serta masyarakat akan terus memproduksi Sopi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
Seperti yang kita ketahui bahwa pro dan kontra sangat nampak di masyarakat, sebagain masyarakat menolak dan sebagian juga menerima. Memang benar bahwa melegalkan Sopi perlu mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya. Untuk itu, hal ini perlu dikaji secara lebih mendalam dan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) yang secara spesifik membahas tentang pengolahan dan peredarann minuman khas tradisional ini, agar jelas penerapan aturannya di masyarakat. Tentunya substansi Perda tersebut harus mengakomodir kepentingan masyarakat yang memproduksi dengan skala rumahan, yang memproduksi hanya untuk kepentingan adat, serta keperluan ritual keagamaan.
Melalui tulisan ini diharapkan para pengambil kebijakan dalam hal ini DPRD Kabupaten Maluku Barat Daya, segera mengusulkan Ranperda tentang minuman khas tradisional (Sopi) yang menurut sumber terparcaya telah selesai dibahas dan disetujui oleh DPRD dan dilanjutkan kepada Bupati agar Bupati mengusulkan pengesahannya kepada Gubernur Maluku untuk dievaluasi dan disetujui, sehingga secepatnya disahkan oleh Bupati menjadi Perda.
Menurut saya dengan adanya Perda tersebut akan memberikan kepastian hukum, memudahkan pengawasan oleh pemerintah daerah, serta yang terpenting adalah jika Sopi atau minuman khas tradisional ini, telah dikelola secara profesional dan diubah menjadi minuman khas tradisonal yang berlebel, maka sudah tentu akan berdampak positif bagi PAD dan juga perekonomian masyarakat. Salam manis dari Bumi Kalwedo (***)