‘Galau’ dengan Legalitas Sopi di Tanah Maluku
Oleh : M.Kashai Ramdhani Pelupessy (Magister Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta)
TULISAN ini berangkat dari salah-satu ciutan di grup facebook yang isinya terkait legalitas minuman sopi di Maluku. Sopi, dalam perspektif orang Maluku, adalah minuman tradisional beralkohol yang sering digunakan pada saat upacara adat di desa-desa tertentu.
Kejadian ini mengingatkan saya pada zaman pra-Islam di tanah Jawa, tepatnya di dataran tinggi Dieng, Wonosobo. Dalam ritual mereka, waktu itu, minuman keras biasanya digunakan sebagai alat untuk moksa.
Moksa adalah proses menyatunya manusia dengan Tuhan, dalam pandangan Budha yakni mencapai Nirvana. Ilustrasinya bisa kita lihat saat berkunjung ke candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Di Borobudur akan kita temukan beragam relief, yang di lantai pertama memperlihatkan situasi masyarakat sudhra, dan terakhir pada tingkat teratas atau puncak Borobudur menggambarkan para Brahmana.
Di puncak Borobudur inilah akan kita temukan beberapa stupa yang didalamnya berisi patung Budha. Pada setiap stupa ada beberapa lubang, yang dari lubang tampak di dalamnya ada patung Budha. Borobudur sebenarnya menggambarkan proses moksa, yakni ketika tangan kita ingin menyentuh patung Budha melalui setiap lubang stupa tapi tidak berhasil.
Hal ini bisa di ibaratkan seperti seseorang yang ingin bersentuhan dengan Tuhan tapi tidak tahu keberadaan Tuhan. Jauh sebelum masyarakat Jawa bersentuhan dengan ajaran Budha atau Hindu, mereka sudah mengenal adanya proses moksa ini.
Untuk mencapai moksa maka media yang digunakan yaitu minuman keras, sebab minuman ini dapat membuat seseorang mengalami fly (melayang), yang menurut masyarakat waktu itu menggambarkan seseorang sedang berjatuh-cinta dengan Tuhan.
Jika moksa-nya berhasil maka tubuh mereka akan mengecil dan akhirnya menghilang, sebagai tanda telah menyatu dengan Nirvana. Namun jika gagal maka tubuhnya akan mengecil dan berubah menjadi jenglot. Ritual ini terus bertahan sampai munculnya ajaran Islam yang dibawa oleh para muballigh di tanah Jawa.
Para muballigh lalu menggeser minuman keras ini dari ritual moksa dan menggantinya dengan air putih. Namun, proses moksa-nya tetap dipertahankan, mungkin karena masih sejalan dengan ajaran Islam yakni makrifat.
Kembali pada konteks minuman sopi. Saat ini, mungkin kita akan jumpai beribu jenis dan merk minuman beralkohol, mulai dari Jack Daniels, Vodka sampai Bir yang masing-masing memiliki kandungan alkohol berbeda. Semua minuman itu juga berstatus haram, menurut ajaran agama Islam. Sama halnya sopi, meskipun diklaim identik dengan minuman khas masyarakat Maluku, baik secara adat dan kebudayaannya, namun tetap saja sama statusnya dimata ajaran agama Islam karena banyak mudaratnya ketimbang maslahatnya. Artinya, minuman ini dari perspektif agama Islam pasti ditolak, karena status hukumnya haram sesuai ajaran agama.
Karena kondisi sosial masyarakat Maluku sangatlah beragam, maka keberagaman persepsi terkait sopi mutlak adanya.
Apalagi, dalil yang didenungkan hanya sebatas melestarikan budaya dan sebagai upaya pemantik ekonomi masyarakat. Jika alasan ini yang dipakai tentunya akan menimbulkan beragam pertanyaan mendasar. Dari sisi budaya misalnya, pastinya timbul pertanyaan apakah tradisi meminum sopi dalam ritual adat itu sudah umum dipakai semua masyarakat di daerah, desa/negeri di Maluku? Jawabannya tentu tidak, karena Maluku terdiri dari dua komunitas besar penganut agama yang berbeda, maka sudah pasti untuk komunitas Muslim tidak akan menggunakan sopi dalam setiap kegiatan adat mereka.
Kemudian bila alasannya untuk memantik pertumbuhan ekonomi masyarakat, khususnya pengolah (pengrajin) sopi di Maluku, maka pula akan timbul pertanyaan yang juga sama. Seberapa pengaruhnya sopi yang merupakan turunan pohon enau ini terhahadap ekonomi masyarakat di Maluku? Jika pemerintah melegalkan sopi dengan pertimbangan peningkatan ekonomi, maka tentu harusnya alasan ini didasarkan pada sebuah kajian ilmiah tentang pengaruh pelegalan itu terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab, selain sopi pohon enau penghasil sopi juga bisa menghasilkan produk turunan lain yang bermanfaat dan bernilai ekonomis tinggi.
Dari sini terlihat adanya perbedaan yang tajam tentang minuman sopi. Oleh sebab itu, minuman ini akhirnya memiliki kekhasan tersendiri, bersifat endemik, serta indigenous yang berlaku khusus pada desa-desa tertentu saja.
Karena itulah, aturan untuk melegalkan minuman sopi ini kemudian muncul ke permukaan. Alasannya didasari oleh dorongan untuk melindungi serta melestarikan kekhasan upacara adat yang didalamnya terdapat minuman sopi.
Meskipun demikian, karena minuman ini hanya berlaku pada saat upacara adat serta juga di daerah-daerah tertentu saja, maka status legalitas bagi seluruh masyarakat yang ada di Maluku akan menimbulkan konsekuensi yang cukup berat. Maka pembicaraan terkait hal ini perlu tanggapan serius dari semua pihak, baik dari segi agama, adat, serta kebudayaan setempat. (***)